Belai Malam Pertama Takengon

Rawohnanggroe | Memasuki tepi Takengon mata masih tak henti melihat segala sisi. Meski tiba menjelang malam, kami tetap bisa merasakan meriahnya bandar negeri di atas awan. Seperti cerita dari petualang lainnya, dingin memang tak bisa dipisahkan dengan ibukota Aceh Tengah ini. Aktifitas masyarakatnya terlihat di sana-sini, sungguh sebuah kota yang cukup sibuk.
Jelang pagi di Takengon | Foto: Khairil

Takengon adalah kota yang semarak. Berada tepat di jantung Aceh di tengah pegunungan Bukit Barisan dengan Danau Laut Tawar di sisi timurnya. Kota ini sudah lama menggeliat ekonominya, bahkan sebelum penjajahan dan menjadi semakin berkembang saat pendudukan Belanda mulai memasukinya. Melihat potensi yang besar,  maka dikembangkan komoditas unggulan di sana, yaitu kopi. Banyak wilayah hutan kemudian dijadikan lahan perkebunan oleh perusahan milik kompeni dan memperkerjakan orang Gayo.

Berawal dari kebun dan gudang kopi, kini Takengon menjadi kota terbesar di jalur tengah Aceh. Ia menjadi pusat aktifitas ekonomi, budaya, pendidikan dan pariwisata. Kebun-kebun kopi yang dulu dimiliki oleh kompeni, kini beralih dikuasai oleh masyarakat pribumi. Saat ini kebun kopi kian bertambah di pinggiran kota. Apalagi didorong dengan makin tingginya permintaan internasional terhadap kopi gayo yang diakui terbaik di dunia.

Berbicara sejarah, dua kerajaan tua di pedalaman Aceh, Isaq dan Linge merupakan asal-usul dari penduduknya yang  makin heterogen. Bahkan 30% penduduknya kini adalah pendatang dari luar Tanoh Gayo. Selain petani dan pedagang, pegawai negeri dan swasta merupakan pekerjaan yang dominan dijumpai di Takengon.

Menyusuri jalan-jalannya merupakan sensasi tersendiri. Di sana-sini terdapat nama yang asing bagi orang Aceh kebanyakan. Seperti jalan Aman Dimot, Leube Kader, Datu Beru, Empu Beru, Putri Pukes dan banyak lagi. Secara bahasa dan adat, kebudayaan mereka memang jauh berbeda dengan pesisir.

Jalanan mulus Takengon mengantarkan kami ke Masjid Ruhama, tempat ibadah kebanggaan masyarakat Aceh Tengah. Dari jauh, kubahnya menjadi titik tujuan. Ia nampak mencolok dibandingkan bangunan lain di sekitarnya. Posisinya tepat di tengah kota dalam komplek perkantoran. Sesaat sampai, kami rebahkan punggung sejenak di serambi masjid, sambil melepas lelah yang sedari tadi hinggap di tubuh.

Waktu magrib yang telah tiba mengajak kami merasakan derasnya air lagi sejuk dari kran masjid. Saat berjalan di lorong masjid, angin berhembus dari tepi bukit. Ia menyentuh kulit dan menambah dinginnya air wudhu seperti bisa membekukan daging.

Shalat berakhir di bawah kubah megah Ruhama. Sambil duduk di dekat tiang penopang, kami mengobrol sedikit tentang perjalanan hari ini. Sesaat, kawan seperjuanganku sempat terharu biru. Mungkin Ia mengingat perjuangan hari ini. Ya, Aku juga mengakuinya. Sebuah perjalanan dengan modal nekat yang melelahkan.

Tak lama, karena penasaran dengan perkarangannya, kami tinggalkan bagian dalam menuju ke pelataran depan. Masjid ini cocok bagi pengunjung yang baru mendatangi Takengon. Menikmati kota dingin mungkin bisa dimulai dari sini.

Kami kembali ke parkiran belakang dan memilih untuk duduk tak jauh dari tangga. Sambil memeluk tubuh, Handphone berbunyi keras di dalam saku. Ternyata Bang Yeuk menelepon dan menanyakan posisi kami. Beberapa saat kemudian, Maulizan, ponakanku datang menjemput bersama pamannya dari Lhokseumawe. Singkat waktu, Ia langsung mengajak kami mengikutinya.

Cahaya lampu memenuhi seluruh jalan kota bersama kabut tipis mengikuti kami melewati pelosok Takengon. Laju motor berakhir di tengah kota. Di sanalah rumah saudara kandungku, Salim namanya. Ia akrab ku panggil Bang Yeuk (saudara laki-laki tertua).

Lama sudah tak bertemu dengannya. Ini pertemuan kedua, setelah sempat bertemu sesaat di Manggeng setahun yang lalu. Sebelumnya hampir sepuluh tahun tak pernah bertatap muka sekali pun. Seumur hidup, ini baru kali pertama Aku mengunjungi rumahnya di Takengon, sudah lebih 22 tahun lamanya.

Banyak yang sudah berubah dengan ranum dua orang tua ini. Begitu juga Ratna, Rauzah dan Maulizan. Terakhir bertemu mereka adalah anak-anak yang periang. Kini mereka bisa jadi teman bercerita dan bertanya tentang kota yang baru kami jejaki ini.

Sambil duduk di ruang dapur sederhana, kami mengobrol sejenak. Berlanjut makan malam dengan hidangan khas, seperti sambal tomat, sayur pucuk labu, dan kentang lado. Ini adalah hidangan terbaik. Sampai saat ini masakan buatan mereka sungguh ingin ku cicipi lagi. Pembicaraan berlanjut tentang berbagai hal yang selama ini tak berkesempatan ditanyakan. Apalagi Maulizan, si bungsu yang selalu bersemangat.

Setelah hampir dua jam mengobrol, Bang Yeuk menyuruh untuk beristirahat di lantai dua. Di atas telah siap kain-kain tebal penghalang dingin. Bukan hanya satu, hampir enam selimut telah tersedia. Sepertinya ini terlalu banyak.

Malam pertama kami lewati bertiga di kamar Maulizan yang berdinding kayu sejenis pinus. Sepanjang malam, tak ada sedikit pun ruas kulit tanpa balutan kain. Hingga fajar menyingsing, dingin terus saja membuai. Aku menyesali apa yang sebelumnya terpikirkan. Ternyata dua selimut tebal belum mampu mengusir dingin yang hendak ke seluruh tubuh. Jujur, kami butuh lebih dari itu.

Suasana pagi Minggu, 1 September 2015 masih terlalu sejuk. Sekira pukul 06.30 kami bangkit dari tempat tidur. Aku langsung menuju kamar mandi untuk berwudhu, seketika kulit terkejut saat air dari gayung menyirami telapak tangan. Ini air wudhu terdingin yang pernah kurasa. Shalat subuh pun kami lakukan dalam kondisi menggigil yang teramat sangat.

Tak lama, karena penasaran dengan rangkak matahari di atas Laut Tawar, kami membuka jendela yang mengarah ke danau terluas di Aceh itu. Sebuah suguhan menarik tepat dihadapan kami. Cemerlang itu perlahan naik hingga kemudian melewati atap perumahan penduduk Takengon, sementara kami masih tak bisa lepas dari selimut. Pantaslah kota ini dijuluki dengan kota dingin.

Hari itu suhu minus terasa sepanjang hari, ditambah arak-arakan mendung diseluruh langit. Ia sepertinya tak henti meneror kami untuk tidak menjelajah. Percuma, dingin kalah dengan semangat, karena tujuan ke sini bukan untuk itu tapi sensasi dan pesona Tanah Gayo.[]


Baca juga: Pulau-pulau Aceh Jaya

Popular posts from this blog

Sejarah Ringkas Kenegerian Manggeng

Lupek, Kuliner Rakyat Jelata

Terkenang Beutong Ateuh Banggalang

Lokasi Menarik di Manggeng Raya