Menembus Belantara Nagan Raya

Rawohnanggroe | Perjalanan masih panjang di tengah hari yang tetap terik menyengat. Lambaian milyaran daun menyambut kedatangan kami di belantara yang entah siapa pemiliknya. Meski merasa was-was setelah kejadian kempes ban di Krueng Isep, akhirnya kami melanjutkan perjalanan memasuki hutan lindung Nagan Raya.
Himbauan menuju puncak | Foto: TimRN

Tanjakan yang tak henti dilalui benar-benar menantang adrenalin. Sejauh jalan terbentang dikanan kiri adalah jurang menganga, sementara helai-helai daun menguning setia luruh di jalan, ia seakan tahu bahwa kedatangan kami ke sini adalah untuk kali pertama.

Di lintasan ini tetap ada yang menarik perhatian, lagi-lagi ada hubungannya dengan giok. Beutong yang terkenal dengan batu mulia jenis tersebut, kini menjadi ladang rezeki bagi setiap pencarinya. Gurih nya harga giok di pasaran adalah sebuah daya tarik bagi puluhan atau bahkan ratusan orang menggantung hidupnya di rimba tuhan ini.

Dibeberapa lokasi, kami melihat banyak motor-motor yang terparkir sembarangan, kalau dihitung-hitung jumlahnya mungkin mencapai 50 unit. Tidak diragukan lagi, semua pemilik motor di sini pasti sudah terjangkit virus giok yang belakangan ini mewabah.

Lebih jauh menyusuri jalan menuju Beutong Ateuh Banggalang, temperatur udara mulai turun, kabut lembut bergerak mengikuti tiupan angin. Seketika saja hawa dingin menyentuh sampai ke uram bulu, saat itu suhu mungkin turun beberapa derjat dari kondisi normal. Perbedaan suhu kontras terasa dengan Krueng Isep di dataran rendah Nagan Raya.

Satu jam memasuki Pengunungan Bukit Barisan, tanjakan mulai terasa lebih ekstrim dari sebelumnya, ditambah lagi beberapa ruas jalan yang rusak akibat longsor. Alhasil, motor yang kami tumpangi menyerah ditengah jalan, ia tak sanggup lagi membawa beban untuk menaiki tanjakan demi tanjakan menuju puncak yang berselimut awan.

Saat itu, tidak ada inisiatif lain kecuali satu orang harus turun dari motor dan berjalan kaki menaiki tanjakan. Begitu yang kami lalukan secara bergantian, hingga sampai di Puncak Singgah Mata. Rasa takut jelas terasa saat itu, betapa tidak, sejauh jalan yang telah terlewati tak satu pun kendaraan berpapasan dengan kami, kecuali hanya burung, kupu-kupu, suara hewan hutan serta kabut yang terus saja memenuhi semesta belantara ini.

Kabarnya, hutan Beutong punya cerita tersendiri tentang hewan-hewan liar yang kapan saja bisa muncul. Jelas bisa terjadi, mengingat daerah ini masuk dalam hutan KEL (Kawasan Ekosistem Lauser) yang masih liar. Rasa takut itu kami pendam sejauh mungkin dalam benak dan mencoba untuk selalu terlihat tenang.

Setelah sempat disergap kabut, kini giliran hujan pula yang menghampiri tubuh yang makin hebat disinggahi suhu minus, bahkan lebih dari sebelumnya. Pendakian tertinggi untuk kali pertama ini terasa sangat melelahkan. Menaiki tanjakan dengan berjalan kaki ternyata cepat membuat tenaga terkuras, napas menjadi tak teratur, kaki juga terasa berat saat melangkah, bahkan untuk seringan helm saja kewalahan saat dipakai.

Setengah jalan menuju puncak, kami memilih untuk singgah sejenak, duduk sambil membuka cemilan dan minuman yang sempat kami beli. Di sekitar sini banyak terlihat tumbuhan langka yang menarik perhatian. Tumbuhan liar yang mungkin hanya ada di ketinggian tertentu, seperti kantong semar, anggrek ungu dan lumut hutan yang memanjati pohon raksasa.

Perjalanan menuju puncak Singgah Mata | Sum
Melaju ke Puncak Singgah Mata | Sumber: Youtube

Beberapa saat beristirahat, pendakian kembali berlanjut. Bensin yang makin berkurang juga sempat menambah kekawatiran. Diantara kami tak ada yang tahu sejauh mana jalan akan kami tempuh ke depan dan apakah ada pemukiman di ujung jalan sana, semua masih menjadi tanda tanya.

Sisi tebing disepanjang jalan dilalui tumbuh tanaman berwarna putih yang seperti membeku karena dinginnya hutan. Tak lama berjalan, hutan yang basah menjadi sedikit bergairah. Dari kejauhan terdengar suara-suara motor yang terus mendekati, setidaknya ini dapat mengobati rasa terasing kami, walau mereka hanya sekedar lewat.

Dataran tertinggi di bumi persembunyian Cut Nyak Dhine ini sebenarnya menawarkan daya tarik, seperti Hutan Lindung Nagan Raya, flora dan fauna, bebatuan giok muda yang berserakan di jalan dan yang paling menawan adalah panorama puncak Singgah Mata. Inilah tujuan kami selanjutnya yang harus dicapai.

Satu jam pendakian yang melelahkan usai. Akhirnya kami sampai di Puncak Singgah Mata yang legendaris itu. Tingginya mungkin mencapai 2800 meter diatas permukaan laut (mdpl), terlihat jelas di sini bahwa posisi kami telah berada sejajar dengan awan pembawa hujan, comulunimbus. Jika hari cerah, katanya dari ketinggian ini pengunjung yang singgah dapat melihat Kota Meulaboh dikejauhan. Begitu yang kami dengar sebelum memulai perjalanan, tapi entah itu benar atau tidak, yang jelas kami mungkin kurang beruntung, karena saat itu kabut menghalangi jarak pandang.

Singgah Mata adalah sebuah puncak pegunungan yang terletak di lintasan Jeuram-Takengon, tepatnya di Kecamatan Beutong. Puncak ini seperti Cot Panglima di jalur Bireuen-Takengon yang menjadi titik berbahaya bagi pengendara. Namun kabarnya, Singgah Mata lebih menakutkan dari Cot Panglima, bukan hanya karena ketinggiannya, tapi juga kemiringan dan kondisi jalan yang selalu rusak.

Puncak ini mengajarkan kami betapa pentingnya persiapan sebelum berpergian. Singgah Mata merupakan salah satu titik tertingi di Aceh yang dilalui jalan. Sempat terpikir di benakku, entah bagaimana para pendahulu kita membuka jalan di sini. Jika saja jalan ini tidak ada atau putus, maka berpergian ke Takengon akan lebih jauh. Begitu juga dengan Beutong Ateuh Banggalang, akan menjadi sebuah kecamatan yang sama sekali terisolir.

Di puncak ini telah berdiri sebuah pos peristirahatan. Bangunan berukuran kira-kira 5x5 meter tersebut saat kami sampai telah penuh sesak di singgahi oleh warga yang melintasi kawasan ini. Setiap orang yang singgah tak ada satupun yang tidak memeluk tubuh, wajar dengan ketinggian seperti ini temperatur udara akan turun drastis. Seketika juga, mulut akan mengeluarkan karbondioksida berupa uap dingin yang dipompa paru-paru.


Setelah sedikit mengobrol dengan warga yang kami temui di pos. Akhirnya kami tahu, ternyata di Singgah Mata saat matahari mulai turun, puncaknya hampir selalu diselimuti kabut dan sesekali disertai hujan. Selain itu, ke depan sana setelah pos ini ternyata masih ada tanjakan seperti saat menuju tempat persinggahan ini, artinya kami masih harus berjalan kaki menyusuri langkah demi langkah tanah tak bertuan ini.

Hal itu sama sekali tak menciutkan semangat dan langkah kami, karena seorang petualang dilarang melihat ke belakang. Pastinya, semua akan kami lakukan, entah ini sebuah hal gila atau pengalaman berharga.[]


Selanjutnya: Lembah Beutong Ateuh

Popular posts from this blog

Gunong Trans, Kehijauan Sejauh Mata Memandang

Keindahan Pantai Batee Puteh di Meukek

Di Aceh, Menikah dan Khitanan "Harus" Berinai

Mengintip Tiga Pantai Bakongan Timur