Berkemah di Pedalaman Krueng Baru

Rawohnanggroe | Langit sore telah menguning. Sepi juga mulai merasuk di perkampungan, hanya ada beberapa pengendara yang berlalu lalang di jalanan Tgk. Agam, Manggeng. Seketika suasana mulai panik takkala alulan ayat Al-Qur’an dibacakan, tandanya waktu maghrib hampir tiba. Saat itulah kami mulai sedikit panik dibuatnya.
Sebelum kedatangan badai | Foto: Khairil

Kami telah siap dengan semua perlengkapan. Berbagai keperluan seperti makanan, pakaian, perlengkapan masak dan lainnya telah disiapkan sedari tadi. Namun beberapa anggota yang ditunggu masih belum juga tiba, padahal siangnya telah diberi tahu bahwa keberangkatan sebelum matahari terbenam. Apa boleh dikata, semua tak sesuai jadwal yang disepakati. 

Hari itu kami berencana untuk berkemah bersama pemuda gampong Blang Manggeng.  Rencananya kami akan kamping di Bantaran Krueng Baru. Sehari sebelumnya telah kami lakukan survei. Sungai ini menjadi batas alami yang memisahkan dua wilayah geografis, yaitu Kabupaten Aceh Barat Daya dengan Aceh Selatan.

Beberapa waktu menunggu, akhirnya semua anggota telah berkumpul. Akmal, seorang teman dari Kedai Manggeng yang dari tadi ditunggu telah tiba ke tempat berkumpul. Beranggotakan delapan orang kami mulai berangkat dengan menggunakan tiga motor. Apa boleh buat, terpaksa dua motor harus berboncengan tiga orang. Delapan anggota yang ikut kamping kali ini, adalah Aku, Akmal, Dani, Arzan, Bang Nik, Cut Lem, Riki dan Ewin. Sedangkan satu anggota lain, Syafran, kedatangannya agak telat ke lokasi kamping.

Keberangkatan dari gampong ke lokasi kamping memakan waktu sekitar setengah jam. Sebelum sampai, kami sempat singgah lagi ke rumah Akmal di Gampong Meurandeh. Dia sebenarnya belum sama sekali mempersiapkan barang atau perlengkapan yang akan dibawanya.

Dengan gerak cepat, mengingat hari yang makin gelap, kami melanjutkan perjalanan. 

“Nyoe pasti na yang tinggai,” ungkap seorang teman dengan logat Aceh Selatan yang kental. Benar saja, hal ini terjadi saat sudah berada di lokasi kamping.

Secara tiba-tiba hujan sejenak membasahai jalan, kemudian berhenti di tengah perjalanan. Kami yang sempat kawatir, terus saja mengendarai motor meilntasi jalan berbukit di Lembah Sabil, hingga akhirnya sampai di bantaran Krueng Baru.

Azan kemudian berkumandang menemani perjalanan kami saat menyusuri pinggiran Krueng Baru. Lampu-lampu di perkampungan sekitar juga telah menyala. Ini artinya malam telah tiba dan kami masih dalam perjalanan.

Pinggiran sungai Krueng Baru berbentuk pantai luas dan berbatu, kawasan ini sering dilalui oleh mobil besar dan alat berat lainnya, sehingga untuk menyusurinya tidak terlalu sulit.

Setelah sampai ke lokasi yang sebelumnya disepakati, kami terdiam sejenak, “Intang nyoe, lagee hana cocok, mita teumpat laen mantong”. celetuk Dani, ia memang selalu hadir dengan kritikan pedasnya.

“Ya, nyoe hana menantang, terlalu toe ngon warong dan gampong,” sambungku spontan.

Akhirnya setelah mendapatkan kesepakatan, perjalanan mencari tempat baru berlanjut.

Lampu motor yang kami kendarai menyinari kasarnya jalan. Menyusuri jalanan tak rata dalam malam yang buta, sungguh sebuah pengalaman. Saat itu hanya ada cahaya-cahaya kecil dari motor yang kami bawa, ditambah lampu dari perusahaan galian C yang ada di pedalaman Krueng Baru. Perjalanan ini terus berlanjut melewati perusahaan yang katanya milik mantan Bupati Aceh Barat Daya ini.

Akhirnya, setelah 15 menit perjalanan kami berhenti. Bukan karena apa, melainkan ini merupakan ujung bantaran sungai. Di depan merupakan aliran Krueng Baru yang tidak mungkin dapat dilewati. Kami pun memutuskan untuk berkemah di sini.

Tak lama sampai, kami mulai membagi tugas. Sebagian bertugas mencari kayu, membuat tungku perapian  serta membagun kemah. Beberapa saat kemudian semua telah siap. Api unggun juga telah dinyalakan, artinya kegembiraan malam ini akan berlangsung meriah di tengah hutan belantara.

Berselang beberapa waktu, semua telah sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada yang asik dengan gitar, gadget dan menelpon, sedang Aku disibukkan dengan merebus ayam untuk kemudian dipanggang. Sayang semua diluar prediksi, hujan mengguyur seluruh Manggeng malam itu. Semua terpaksa berdesak-desakan dalam satu tenda.

Dua orang sebulumnya telah pulang untuk mengambil lampu dan tikar, karena dua hal ini sama sekali lupa dibawa. Tak berapa lama setelah itulah Syafran datang. Ia merupakan ketua Geng Kapas begitu sebut Bang Nik.

“Kepala Geng Kapas.. pakiban telat that trok lee?,” ungkapnya sambil membuat kelucuan. 

Sontak seketika obrolan dan gelak tawa pecah di dalam kemah. Meski hujan terus mengguyur dan basah tidak bisa dihindari.

Hujan sempat tiga kali turun. Semua merasakan basah kuyub dan dinginnya hutan malam itu. Parahnya beberpa anggota bahkan hanya membawa satu pakaian saja, sehingga mereka terpaksa bertelanjang dada. Beruntung ada api unggun yang sedikit tidaknya dapat meringankan minus temperatur hutan kala itu.

Saat hujan pertama reda, Akmal dan Ewin yang ditugaskan untuk mengambil lampu telah kembali. Mereka berdua juga sempat terkena hujan dalam perjalanan pulang. Saat mereka kembali, semua akhirnya lengkap. Aktifitas pun kami lanjutkan, meski gerimis terus saja turun menemani.

Ayam yang sudah dari tadi kami rebus telah matang. Rencana awalnya adalah untuk dipanggang. Disebabkan keadaan yang sangat tidak mendukung, Aku mulai memutar pikiran, dan akhirnya jadilah ayam kecap pedas. Mengenai rasa, lumayanlah untuk sebuah masakan dadakan. 

“Cek bit.. ayam buatanmu, nyoe cap!,” ujar Arzan sambil mengacungkan jempol.

Makan malam pun ditemani oleh ayam kecap kuah pedas. Kenapa demikian? Ini karena pada proses perebusan, air yang ada dalam kuali tidak pernah mengering, malahan terus bertambah, sebab hujan yang terus turun. Bagi kami ini bukan sebuah masalah, yang terpenting kebersamaan tercipta malam itu. Lapar yang sudah sedari tadi menyerang terobati dengan segenggam nasi. Banyak anggota tak bawa perlengkapan, alhasil terpakasa beberpa dari kami harus makan dalam penutup kanot dan tapperware.

“Panena lom, hana wibawa lee Geng Kapas,” ungkap salah seorang dari kami, lagi-lagi suasana kembali pecah saat itu.

Mata terus saja menerawang ke langit. Beberapa saat memang sempat cerah, terlihat bulan dan bintang yang sempat muncul. Namun, sekitar pukul 11.00 WIB, hujan kembali mengguyur sesaat sesudah meneguk segelas kopi penghangat tubuh. Sejurus kemudian kami belarian untuk berteduh. Aku yang sudah dari tadi memakai mantel hujan sedikit aman dengan kondisi ini, namun tidak dengan yang lainnya. Mereka pontang-panting mencari tempat berteduh untuk menghindari serbuan hujan. Ada yang dibawah kemah, mantel dan bahkan tikar pun dialihfungsikan menjadi tempat berteduh.

Hujan sesi kedua pun pirang (reda). Aktifitas yang sempat terhenti kembali kami lanjutkan. Lokasi kami hanya beberapa meter dari alian deras Krueng Baru. Suaranya terus menemani sepanjang malam. Api yang menyala-nyala di tengah gelap menerangi sekitarnya, kayu yang sempat basah pun kami tambahkan. Angin yang bertiup kencang dari arah pegunungan terasa seperti menusuk ke dalam setiap sum-sum tulang kami.

Kami duduk melingkar kala itu dengan diiringin petikan gitar Syafran. Sahut-menyahut nyanyian yang terus kami bawakan membuat semua kondisi alam yang kurang mendukung seakan tiada pengaruhnya. Segelas susu hangat pun setia di samping dengan ditemani roti. Bang Nik menjadi objek ejekkan ketika itu. Dia hanya bisa terdiam sambil matanya berkedip-kedip sayu.

Tiga jam berselang, sekitar pukul 02.00 WIB, angin datang disertai hujan lebat kembali menyerbu. Ini adalah yang terhebat dari sebelumnya. Aku yang berada diluar tenda melihat ke arah perkampungan dan hutan belantara, yang nampak hanyalah kabut putih. Tidak nampak sedikit pun cahaya dan bayangan dari pegunungan.

Hujan dengan gemuruh serta angin mengkawatirkanku. Sambil memengang tenda yang tertiup angin kencang, aku membisikkan ke Akmal.

“Mal, sang laen kali nyoe, bek-bek iteuka ie bandang enteuk, han teume ta peuseulamat droe,” ungkpku dengan nada cemas.

“Lon bitee bak awak nyang di apui unggun, kah ka kheun bak awak nyang lam kemah,” sambungku.

Setelah mendapatkan kabar ini, seketika saja anggota meninggalkan lokasi kamping untuk mencari lokasi yang lebih tinggi. Di tempat ini hanya tinggal kami bertiga, Aku, Akmal dan Cut Lem. Sambil terus mengumpulkan semua perlengkapan yang tertinggal, hujan kian lebat menghampiri kami. Apalagi konon katanya, Krueng Baru tiap tahunnya selalu meminta tumbal dan tahun ini belum ada korban dari keganasan sungai ini. Hal ini menambah kecemasan bagi kami.

Tak lama, kami pun menyusuli anggota lain. Mereka telah berada disebuah gubuk kecil milik perusahaan galian C yang kami lewati tadi. Di sana mereka sudah terkulai layu, seluruh baju telah basah, setelah sempat kering sebelumnya.

“Ka lage manok sijuk,” sudah seperti ayam kedinginan, tuturku sambil mengarahkan pandangang ke arah Bang Nik. 

Benar saja, sesaat sampai di gubuk tersebut, air sungai kemudian mulai naik dan membanjiri bantaran Krueng Baru, termasuk tempat kami berkemping tadi. Untung cepat kami menyadari tentang bahaya air bandang yang dapat secara tiba-tiba datang, jika tidak ini akan jadi hal yang fatal.
Bermalam di Krueng Baru | Sumber: Youtube

Setelah mengobrol panjang lebar dengan diselingi gelak tawa, akhirnya kami benar-benar kalah dengan cuaca malam itu. Dingin dan nyamuk bukan halangan lagi, kami pun tertidur untuk beberapa saat hingga fajar menyingsing.

Paginya hujan reda. Aku yang penarasan dengan lebatnya hujan semalam kembali ke pinggir sungai dan melihat betapa ganasnya sungai ini ketika sedang banjir. Kemudian Ada yang menarik perhatianku. Seketika saja ada banyak orang datang dari kampung sekitar untuk mencari ikan dan udang di pinggir sungai. Ini adalah sajian unik bagi kami dipagi yang sangat dingin di sini.

Satu masalah sempat membuat kami kawatir. Tingginya air telah membuat jalanan yang kami lewati semalam menjadi tergenang sampai ketinggian yang cukup tinggi. Saat itu kami benar-benar merasa terkurung, terjebak dan terisolasi. Sambil menunggu air surut, kegiatan dilanjutkan dengan memasak mie dan meminum suplemen energi yang semalam belum sempat dibuat.

Kami sempat bertemu dengan penjaga pabrik di sana. Dari dialah kami mendapat informasi, ternyata ada jalan alternatif lain selain melewati bibir sungai. Jalanan melewati perbukitan juga bisa digunakan untuk perjalanan pulang. Sayang, saat mengambil ancang-ancang, hujan sisa semalam lagi-lagi turun ditengah hari. ini seakan sebuah pertanda bahwa kami tidak diizinkan untuk pulang.

Sekitar pukul 12.00 siang, kami beranjak pulang. Motor Bang Nik yang telah kandas alias habis bensin, terpaksa didorongnya menuju ke perkampungan yang berjarak hampir dua kilometer jauhnya. Sampai di Gampong Alue Trieng Gadeng, semua seakan telah usai, wajah Bang Nik dan lainnya lapas dan lega.

Hujan semalam sebenarnya bukan halangan, melainkan sebuah sambutan meriah dari alam atas kunjungan kami. Tetes hujan yang turun dari langit adalah sorak-sorak ramai yang menemani sepanjang malam. Begitu juga angin merupakan tarian persembahwan dan penyambutan atas kedatangan ketempat ini.

Hujan itu isyarat, hujan itu nikmat dan hujan mencipta pengalaman yang takkan terlupakan.[]

Popular posts from this blog

Terkenang Beutong Ateuh Banggalang

Gunong Trans, Kehijauan Sejauh Mata Memandang

Mengintip Tiga Pantai Bakongan Timur

Keindahan Pantai Batee Puteh di Meukek