Semerbak Wangi Nilam Teunom Raya

Rawohnanggroe | Krueng Teunom, setiap detiknya tak henti mengaliri lembah hijau nan perawan. Arusnya bergulung-gulung, mulai dari pedalaman rimba tuhan hingga jauh ke bibir samudera. Kala banjir ganasnya akan terlihat, setelah itu lumpur subur akan tersibak di dataran.
Penyulingan minyak nilam | Foto: Khairil

Krueng Teunom adalah sebuah sungai yang berhulu dari Geumpang yang masuk dalam Hutan Lindung Ulu Masen. Kawasan ini sudah sering mencuri perhatian. Selain terkenal dengan emas, batu mulia, karet dan ungkot keureuling (jurung), sungai yang berarus deras ini juga terkenal dengan trek olahraga arung jeram.

Untuk mendapatkan pengalaman ekstrim, pengunjung harus menyusuri jauh ke pedalaman Pasie Raya. Akses ke titik mulai arung jeram dapat ditempuh dengan speed boat dari perkampungan yang ada di sepanjang aliran Krueng Teunom, salah satunya adalah dari pemukiman Sarah Raya, yang merupakan mukim terjauh.

Teunom kaya dengan hasil alam, tanahnya juga menghasilkan komoditas yang dikagumi dunia. Adalah minyak nilam (Patchouli oil) yang dihasilkan dari tumbuhan nilam (Pongostemon Cablin Benth). Minyak dari tumbuhan endemik Nusantara ini menjadi bahan baku utama pembuatan parfum, kosmetik, sabun, obat-obatan juga aroma terapi.

Indonesia jadi pemasok terbesar minyak atsiri jenis ini, 1600 ton per tahun atau memenuhi 90% kebutuhan dunia. Salah satu pemasoknya adalah Aceh dan Teunom Raya khususnya. Perkebunan nilam biasanya ditanam di perbukitan, ladang dan dataran rendah. Tumbuhan merambat ini dapat dipanen 7-9 bulan sekali.


Minyak nilam Indonesia telah melanglang buana sampai ke Singapura, India, Timur Tengah, Asia Timur, Eropa, bahkan jauh ke Amerika yang jadi pengekspor utama. Di Teunom, kawasan penghasil minyak itu berada di pedalaman.

Jalan provinsi Keudee Teunom–Sarah Raya terbentang sekitar 20 kilometer. Inilah satu-satunya jalan menuju pedalaman. Jika menyusurinya bisa dilihat sebuah perusahaan pengolahan minyak nilam yang berdiri beberapa tahun lalu. Perusahan ini memiliki kebun sendiri, selain juga mendapatkannya dari masyarakat sekitar.

Lebih jauh ke pedalaman akan ada banyak ketee (mesin penyulingan nilam yang dibuat secara tradisonal) yang bisa ditemui. Ketee-ketee ini adalah milik masyarakat sekitar yang mengusahakan nilam di seuneubok (ladang) mereka.

Memasuki daerah terpencil Teunom, panorama hijau selalu tersaji setiap sisinya. Tidak ada kemajuan yang berarti, akses jalan pun masih banyak yang rusak. Sarah Raya bisa dikatakan masih terisolir. Bukan saja jalan, sebuah jembatan penghubung ke seberang pun masih terbengkalai. Mungkin pemerintah sedikit lupa akan potensi besar yang dimilikinya.

Jalanan kampung terasa lengang. Pohon-pohon pinang terlihat tinggi menjulang. Inilah Gampong Alue Punti, desa pertama sesudah jalan yang sama sekali belum pernah diaspal.

Ini kesekian kalinya mengunjungi pemukiman Sarah Raya. Kali ini berbeda, pasalnya masyarakat sedang panen raya nilam. Terlihat ada gundukan-gundukan nilam yang diikat dengan ukuran besar, tingginya hampir menyentuh atap rumah warga.

Baru saja sampai, aroma semerbak menyengat menghampiri indra penciuman. Baunya pekat dan menenangkan pikiran. Harum minyak nilam seakan memenuhi seluruh udara pedalaman. Wangi itu bersumber dari bagian belakang rumah. Di sana terdapat bangunan sederhana dengan ketee milik warga yang dibangun secara swadaya.

Sampai di belakang, aktifitas penyulingan sedang berlangsung.
Setiap hari selalu ada penyulingan nilam tanpa henti. Katanya, sudah selama dua bulan api di tungku ini tidak pernah padam.

Di dalam bangunan sederhana ini juga banyak terdapat nilam-nilam yang siap disuling. Setelah sebelumnya dijemur dan cincang, supaya mudah dimasukkan ke dalam wadah penyulingan yang terbuat dari drum. Semua dilakukan manual tanpa ada pengaman dan mesin bantuan apa pun.

Kayu harus selalu dimasukkan ke dalam tungku supaya proses penguapan berjalan sempurna. Sementara beberapa orang terus saja mencincang nilam dengan menggunakan parang. Sehari semalam, penyulingan hanya bisa dilakukan empat kali saja. Nilam disuling dalam waktu enam jam lamanya, selama proses ini tetes demi tetes minyak akan terkumpul pada satu wadah.

Minyak dalam wadah tersebut masih bercampur dengan air sehingga harus diendapakan dahulu. Seperti halnya minyak makan, minyak nilam juga tidak akan bercampur dengan air.


Hasil penyulingan yang didapatkan beragam, mulai dari 7-10 ons, tergantung kadar minyak dan di mana nilam tersebut di tanam. Katanya, nilam yang di tanah datar minyaknya akan lebih banyak dibandingkan di hutan atau perbukitan.

Asap yang terus mengepul tak henti, membuat langit-langit menjadi hitam pekat. Peluh bercucuran pada setiap kening petani, mereka menunggu tetes-tetes minyak nilam dengan sabar. Sekali lagi wangi aroma alami merasuk sampai ke saraf otak.


Setelah hampir enam jam duduk di bangunan kayu yang berbentuk panggung ini. Akhirnya semua minyak dari nilam yang disuling telah keluar. Ketika itulah muka petani nilam tersenyum lega, jerih payahnya selama tujuh bulan menemui hasil.

Minyak yang telah siap akan dimasukkan ke dalam botol kaca, sebelum dikumpulkan dalam jerigen besar. Biasanya satu botol tersebut memiliki berat satu kilogram. Saat ini satu kilo minyak nilam dihargai Rp. 600.000–700.000 saja. Dulunya pernah mencapai Rp. 1.300.000, sayang kini harganya terus saja turun.

Petani biasanya menjual hasilnya pada perusahaan, pengepul yang ada di Keudee Teunom untuk kemudian diangkut ke Meulaboh atau Banda Aceh seterusnya ke Medan.


Mereka tak tahu bahwa minyak nilam yang diusahakannya di ladang-ladang berakhir di kapal tanker untuk kemudian di ekspor ke berbagai belahan dunia. Kemudian kembali lagi ke Indonesia dalam bentuk minyak wangi, sabun, obat-obatan dan lain sebagainya.
 

Kita dan orang luar sana tak pernah tahu bahwa sejak dekade-dekade lalu, petani kecil di sinilah yang berjasa membuat setiap baju menjadi wangi semerbak nan bergairah. Luar biasa![]

Baca juga: Pantai Batee Tunggai

Popular posts from this blog

Gunong Trans, Kehijauan Sejauh Mata Memandang

Keindahan Pantai Batee Puteh di Meukek

Di Aceh, Menikah dan Khitanan "Harus" Berinai

Sejarah Ringkas Kenegerian Manggeng