Tertahan di Teduh Krueng Isep

Rawohnanggroe | Teriknya matahari siang itu menimbulkan fatamorgana di jalan. Perjalanan kali ini hanya berdua, Saya dan Akmal. Kami mengendarai motor scooter matik. Akmal belum pernah membawa motornya sejauh ini, apalagi dengan tanjakan ekstrim yang menunggu di depan.
Aliran Krueng Isep | TimRN

Perjalanan ini hanya bermodalkan nekat. Kami memulai perjalanan sekitar pukul 08.00 pagi, bergegas menuju ke negeri di atas awan, Takengon. Tiga jam sudah berlalu melintasi jalur Manggeng-Jeuram-Ulee Jalan. Sejauh ini tak ada kendala berarti yang kami dapati, kecuali hanya pinggang yang seakan lepas dari tubuh.

Sebelum sampai di Ulee Jalan, kami sempat singgah di Simpang Peut Jeuram untuk mengisi penuh bahan bakar. Lokasi SPBU ini padahal bukan jalur menuju Ulee Jalan, arah kami adalah terus ke utara menuju pengunungan.

Asap mengepul dari mesin setelah kami mencoba mendinginkan motor dengan air yang tersedia di sana. Kami berdua tak ada yang tahu bahwa di jalur Jeuram-Ulee Jalan juga ada stasiun pengisian bahan bakar.

Jalan dari Jeuram ke Ulee Jalan adalah jalur baru bagi saya pribadi, terlebih kawan yang ku bonceng. Ini pengalaman pertama baginya menempuh perjalanan jauh dengan sepeda motor. Kami berdua sama-sama belum pernah menginjak tanah negeri yang diselubungi bukit tersebut.

Sampai di Keudee Jeuram kami kembali singgah di toserba tepat di depan MIN Jeuram. Kami membeli air juga cemilan untuk bekal diperjalanan. Melihat pakaian dan barang bawaan kami, tiba-tiba pemilik toko bertanya.

Ho neuk jak?” (Mau pergi kemana).
Jak u Takengon pak” (Pergi ke Takengon pak).

Sesaat pemilik toko menoreh ke arah plat motor.


Asai wak nyo dari pane?” (Asal kalian dari mana).
Dari Manggeng pak” (Dari Manggeng Pak), jawab Akmal kemudian membuka botol minuman dan meneguknya.
Oh Manggeng, di Takengon bak so?” (Oh Manggeng, di Takengon sama siapa)
Bak abang ideh, jak sawe sigo karena hana pernah jak lom” (Sama abang di sana, pergi menjenguknya sekali karena belum pernah pergi).
Abang kerja peu ideh,” (Abang kerjanya apa di sana), tanyanya ramah.
Wirausaha, kira-kira dari sino u Takengon padum jeum teuk pak?” (Wirausaha, kira-kira dari sini ke Takengon berapa jam lagi pak), sambungku kembali bertanya.
Sekitar peut jeum teuk ka troh, jino ka mangat kareuna ka get jalan” (Sekitar empat jam lagi sudah sampai, sekarang enak karena jalan sudah bagus), jawabnya sambil menerima bayaran.

Setalah berterima kasih, perjalanan berlanjut.

20 menit mengendarai motor, kami telah melewati barisan toko Ulee Jalan di Kecamatan Beutong dan akhirnya sampai di desa terakhir, tepat sebelum kompi militer. Untuk jaga-jaga kami kembali membeli bensin satu liter yang dibungkus plastik.

Sekitar dua kilometer dari sana, kami menemui sebuah objek wisata yang dikelola Pemkab Nagan Raya. Namanya kawasan wisata Krueng Isep, di sana berdiri sejumlah warung. Ada yang menghadap ke sungai juga ke jalan Provinsi Lintas Beutong-Takengon. Di pinggir sungai berdiri pondok-pondok kayu yang berjejer rapi. Melihat hal, ini sepertinya Krueng Isep pasti selalu ramai pada hari-hari tertentu.

Jika ke Krueng Isep, di atas jembatan adalah spot yang paling tepat untuk menikmati segala isi keindahan alami yang ditawarkan. Air membiru berpadu kontras dengan kehijauan di sekitar, disatu tebing bukit juga ada air terjun mini yang langsung lepas landas ke sungai. Namun sayang pengelolaan kawasan ini masih kurang, bahkan fasilitas yang dibuat Pemkab pun sudah banyak terbengkalai.

Objek wisata ini terletak di Kecamatan Beutong, Kabupaten Nagan Raya. Saat ini ada hal unik yang selalu melekat jika menyebut nama Beutong. Adalah karena ketenarannya sebagai penghasil batu giok kualitas dunia. Di sini dapat ditemui geliat para penggila giok tersebut.

Ada sekitar sepuluhan mobil mewah yang terparkir di pinggir jalan. Disalah satu warung juga tampak orang berkerumun dan terdengar suara mesin pemotong batu yang bising. Saat itu kami tidak bisa mendekat karena terpikir masih jauhnya perjalanan yang akan ditempuh.

Mengunjungi tempat baru, satu hal jangan sampai lupa, dokumentasi. Kami memilih di atas jembatan Krueng Isep yang teduh. Setelah berkodak ria, kami pun memutuskan kembali mengarungi lautan aspal hitam yang entah kemana ujungnya.

Meninggalkan Krueng Isep, maka kita mulai memasuki pegunungan Beutong yang merupakan bagian Taman Nasional Gunung Leuser dalam rangkaian Pegunungan Bukit Barisan.

Semua tumbuhan merangkak liar di kanan kiri jalan. Lebar jalan menuju Beutong Ateuh hanya sekitar empat meter. Di atas menanti puncak Singgah Mata yang melegenda.

Tanjakan pertama terlalui. Tak ada masalah halang melintang, yang didapati hanya sunyi senyap. Jalanan mulai lengang total. Di ujung tanjakan pertama, mata mulai digoda oleh suguhan hamparan dataran rendah nan permai. Dari atas sini hampir semua daratan Nagan Raya terlihat jelas, dan kami memutuskan untuk singgah.

Tak lama motor dimatikan pengguna jalan lain juga tiba di sana. Mereka datang dari arah pedalaman Beutong Ateuh. Setelah bercerita, ternyata dua pemuda Alue Bilie ini adalah pencari gemerlapnya batuan mulia di bumi persembunyian Cut Nyak Dhine.

Puas dengan sesi foto-foto, kami berencana mengabadikan momen di kaca tikungan jalan. Namun apa yang terjadi, ban motor tiba-tiba saja kempes. Sepertinya kami menemui masalah pertama.

Sejenak terdiam. Kami saling melihat satu sama lain untuk beberapa saat. Dalam benakku berkecamuk pemikiran tentang apa yang harus dilakukan. Melanjutkan perjalanan, kembali turun ke Krueng Isep atau mungkin ke Ulee Jalan yang sudah jauh terlalui.

Seketika saya teringat pesan suami kakak, Bang Yeuk. Ia berpesan bahwa jika melewati Jalur Singgah Mata, jangan sesekali terlalu gembira atau turun untuk berfoto-foto, karena di sana hewan liar masih banyak dan kejadian aneh sering terjadi. Dan ternyata pesan itu benar.

Kiban Mal, lanjot atau ta balek?” (Bagaiman Mal, lanjut atau kita kembali).
Hoem, ilikeu peu na bengke” (Entah, di depan apa ada bengkel), balas bertanya.
Hana ku teupeu Mal, kali pertama cit lon jak bak jalan nyo” (Ngak tahu Mal, Aku pertama kali juga melintas di jalan ini).
Kiban nyo?” (Bagaimana ini), sambungnya dengan nada cemas.

Aku mencoba terlihat tenang dengan mendorong motor ke pinggir jalan. Kemudian melintas dua orang remaja, kemungkinan mereka berasal dari Beutong Ateuh. Remaja ini nampaknya sudah paham betul tentang seluk-beluk jalur ini.

Pakon bang?” (Kenapa bang?), tanya salah seorang diantaranya dengan memperlambat laju motor.
Boco dek, di likeu peuna bengke?” (Bocor dek, di depan apa ada bengkel).
Hana bang, keudeuh di Ulee Jalan baroe na” (Enggak bang, di Ulee Jalan sana baru ada), pungkasnya singkat.
Oke, terimong geunaseh dek” (Oke, terima kasih dek).

Setelah di Krueng Isep | Sumber: Youtube

Mereka melanjutkan perjalanan yang entah kemana arah tujuannya. Kami memutuskan untuk turun kembali ke pemukinan mencari bengkel sepeda motor.

Mengendarai motor yang bocor dengan dua orang di atasnya juga cukup mengkawatirkan, apalagi Akmal memiliki badan yang subur. Kami berinisiatif, Dia yang membawa motor dan Aku duduk di belakang. Ini untuk mencegah hal yang lebih fatal terjadi.

Sampai di Krueng Isep, kami kembali bertanya lokasi bengkel terdekat. Jawaban mereka sekitar tiga kilometer perjalanan lagi, yaitu ke Ulee Jalan. Ibu paruh baya penjaga warung itu kemudian memberi kami pompa tangan.

Ujo pumpa dilee kadang boco aloeh, mungken bisa troh u Ulee Jalan” (Coba pompa dulu mungkin bocornya kecil, mungkin bisa sampai ke Ulee Jalan), tuturnya.

Setelah terisi penuh, Aku menuju ke Ulee Jalan sedang Akmal menunggu di Krueng Isep. Sekitar satu jam kami menunggu dan akhirnya motor pun telah siap ditempel.

Kejadian ini seperti sebuah isyarat bagi kami, bahwa jika melakukan petualangan jangan pernah anggap sepele pesan dari orang tua. Terbukti, di gerbang pertama rimba Beutong, kami terpaksa tertahan sejenak di Krueng Isep yang teduh.


Rawoh sebelumnya: Puncak Singgah Mata

Popular posts from this blog

Gunong Trans, Kehijauan Sejauh Mata Memandang

Terkenang Beutong Ateuh Banggalang

Keindahan Pantai Batee Puteh di Meukek

Di Aceh, Menikah dan Khitanan "Harus" Berinai