Melaju di Hamparan Celala

Rawohnanggroe | Masih di tanah Nagan. Matahari hampir menyentuh batas Puncak Singgah Mata. Hari sudah semakin sore, sedangkan di depan sana masih ada setengah perjalanan lagi. Setelah beberapa waktu lalu sempat menghirup segarnya udara Beutong, perjalanan berlanjut kembali menaiki pegunungan terjal.
Hamparan sereh wangi Celala | Foto: Khairil

Sekali kaki dilangkahkan, pantang surut kemudi,” kalimat itu seakan menjadi mantra bagi kami. Hampir serupa dengan kejadian saat menaiki Puncak Singgah Mata. Motor tak kuat membawa beban hingga akhirnya kami kembali bergantian berjalan kaki di bawah tajuk-tajuk pohon yang makin remang.

Hingga suatu ketika, semua telah usai. Tubuh hampa daya untuk menaiki jengkal demi jengkal Pengunungan Bukit Barisan ini. Napas mulai tak beraturan dan kaki pun terasa keram,. Kami memutuskan untuk berhenti sejenak di pinggiran jalan sambil berharap malaikat penolong tiba menghampiri.

Tak ada opsi lain selain meminta tolong kepada orang lewat di jalan yang lengang ini. Sejurus kemudian, sebuah mobil Kijang Toyota lewat. Itulah kesempatan terakhir. Walau sempat berat hati, akhirnya kami lambaikan tangan. Setelah berhenti kami menceritakan apa yang sedang dialami. Cepat saja, pengendara paruh baya itu mengizinkan kami untuk menumpangi mobilnya. Akmal naik ke sana, sedang aku mengendarai scooter mungil yang tak berdaya itu.

Setelah 30 menit perjalanan, terlewatilah gapura selamat datang di Kabupaten Nagan Raya. Tak jauh dari tugu, hamparan yang ditawarkan mulai berbeda. Serasa ini bukan lagi di Aceh. Tapal batas itu menandakan perjalanan kami telah sampai ke Negeri di Atas Awan dan Celala adalah kecamatan pertama di Aceh Tengah apabila melewati jalur Jeuram-Takengon. Kondisi jalan mulai tak karuan. Perbedaannya sangat kontras jika dibandingkan dengan tetangganya, meski sebagian sudah lumayan bagus.

Hal berbeda juga terasa saat beberapa remaja mengendarai sebuah motor buntut. Dalam lajunya, mereka terus saja menyanyikan lagu yang tak sama sekali dimengerti. Ya, ini adalah bahasa gayo, seperti yang pernah ku dengar saat teman berbicara waktu di Banda Aceh.

Angkup adalah kota kecil yang menunggu di depan. Sebelum sampai di sana mata terbuai oleh pemandangan unik. Di sana sini terlihat hamparan perbukitan gundul namun menghijau. Dari kejauhan pikiran terus bertanya-tanya, apa gerangan nun jauh di sana?.

Akhirnya sampai juga Aku di tepi sebuah perkebunan. Bukan tanaman karet, sawit, kakao atau pala seperti kebanyakan di kabupaten lain, ternyata ini adalah sereh wangi. Tak tanggung-tanggung, sejauh mata memandang hanya tanaman jenis ini saja yang mendominasi.

Celala merupakan salah satu penghasil minyak atsiri yang disuling dari tumbuhan sereh wangi. Komoditas ini kemudian akan dipasok ke Medan untuk disebarkan ke penjuru Indonesia. Minyak sereh wangi dari wilayah ini menjadi salah satu pendapatan asli daerah Aceh Tengah yang juga mendunia.

Tak lama singgah, desah angin membawa aromanya ke palung hidung. Wanginya seakan memenuhi semesta Celala. Jujur, sedari dulu Aku sangat menyukai aroma sereh wangi. Ku hirup perlahan aromaterapi alami ini, hingga sesaat kemudian kawan seperjalananku turun dari mobil yang ditumpanginya.

Setelah mengobrol sejenak mengenai seberapa jauh lagi perjalan ke Takengon. Kami berterima kasih kepada keuarga yang juga baru dari Manggeng ini. Tak panjang cerita, mereka mengajak kami untuk terus jalan dan menuntun kami.

Masih di hamparan sereh wangi. Hampir setiap saat kami buang pandangan ke sekeliling pegunungan. Beraneka tumbuhan lain pun tumbuh subur, ada labu, tomat, markisa, timun dan tentunya kopi. Inilah salah satu ciri khas kabupaten yang tepat berada di pusat daratan Aceh ini.

Kami kian bersemangat saat banyaknya pemukiman terlihat di kanan dan kiri jalan. Sedikit aneh rasanya saat berpapasan dengan penduduk asli, sebab raut muka mereka berbeda dengan Aceh pesisir. Ditambah lagi dengan banyaknya anjing yang menjadi hewan piaraan berkeliaran di jalanan dan pemukiman mereka. Entahlah.. semua mungkin ada sebab dan tujuannya.

Memasuki paruh senja, perjalanan telah sampai di jalan Lintas Takengon-Blangkeujeren. Sejak lama dingin memang sudah membalut kulit. Kami biarkan saja tanah Datu Beru ini menysntuhan dengan sejuk. Sambil memeluk tubuh sedikit erat, di hadapan tersaji pantulan jingga membara di puncak perbukitan.


Ini pengalaman pertama dalam epos hidup, kami belakangi bintang terdekat yang sedang ke Barat hingga tenggelam di relief topang langit, kemudian gulita mengikut.[]

Sebelumnya: Terkenang Beutong Ateuh

Popular posts from this blog

Gunong Trans, Kehijauan Sejauh Mata Memandang

Terkenang Beutong Ateuh Banggalang

Keindahan Pantai Batee Puteh di Meukek

Di Aceh, Menikah dan Khitanan "Harus" Berinai