Menyatu dalam Semangkok Keureuling

Rawohnanggroe | Berawal dari sebuah pembicaraan santai siang itu, Jum’at 10 April 2015. Di dapur yang penuh kesan sederhana ditemani segelas ie mameh (air manis) dari gula yang dilarutkan. Sambil duduk bersimpuh di atas tikar pandan, sesekali ku curi pandang pada raut muka tulus dari pemilik rumah.
Asam Pedas Ikan Keureuling | Sumber: Hello-Pet

Kali ini saya bertandang ke rumah bang Din, seorang pemuda Gampong Alue Punti, Pasie Raya, Aceh Jaya. Postur tubuhnya tinggi langsing, berkulit hitam dan berhidung sedikit mancung. Perawakan asli Aceh-nya terlihat sempurna dengan keperibadian dan tutur kata yang sopan.

Saat itu saya memang sedang di Pasie Raya, berkunjung ke rumah abang. Karena tidak ada kegiatan selama empat hari di Banda Aceh, saya memilih berlibur dan membuang kejenuhan ditempatnya. Seperti kebanyakan pemuda gampong lainnya, bang Din sangat ramah setiap kali saya berkunjungi pucok Teunom ini.

Tradisi pemulia jamee di gampong patut diacungkan jempol.  Siapa pun yang bertamu akan selalu ramah dilayani seperti saudara yang telah lama tak pulang. Percakapan sore yang sedikit mendung itu membahas berbagai topik, dari agama, wisata bahkan politik.

Budaya ramah-tamah dan basa-basi terasa masih sangat kental. Awal kedatangan saya ke rumah bang Din, seketika saja semua anggota keluarga langsung menyalami saya meninggalkan segala kegiatan yang sedang dilakukan. Saat berbicara, semua ucapan yang keluar dari mulut selalu dengarkan secara serius. Saya merasa bak manusia yang tahu segalanya, padahal pengetahuan dan pengalaman mereka jauh lebih banyak.

Imajinasiku sedikit melayang kala bang Din berbicara tentang pesona hulu Krueng Teunom. Tuturnya, di pedalaman sana terdapat air terjun yang langsung jatuh ke sungai, gunung-gunung batu yang tegak berdiri, juga pantai sungai yang dapat disinggahi untuk berkemah.

Tiba-tiba ada yang lebih menarik dari obrolan ini, yaitu ketika bang Din menjelaskan tentang melimpahnya ikan keureuling di Krueng Teunom. Salah satu ikan endemik Indonesia ini memang banyak ditemui di sini, bahkan kabarnya dapat didapatkan dengan mudahnya. Katanya, masyarakat di kemukiman Sarah Raya, jika ingin menikmatinya tinggal dipancing saja di sungai, dan dengan mudahnya keureuling akan didapatkan.

Bang Din memang sering mengunjungi hulu sungai untuk mencari emas, batu dan berburu. Ia dan rekan-rekannya biasa menginap sampai seminggu lamanya di belantara Ulu Masen. Selain bekal yang dibawa, untuk konsumsi mereka selalu memanfaatkan alam, salah satunya adalah dengan menangkap keureuling yang melimpah di Krueng Teunom.

Hari itu pun bang Din telah menangkap dua ekor keureuling. Ikan sengaja dibiarkan hidup dengan diikat dengan tali pada perahu kayu di sungai, tujuannya agar ikan tetap hidup. Ikan yang segar akan memiliki cita rasa yang lebih nikmat.

Setelah beberapa jam mengobrol, sore itu pun berakhir dengan sebuah undangan makan malam untuk menikmati hidangan keureuling tangkapannya.

Malam itu petir tak karuan melintasi langit bersama tebalnya mendung. Segera saya hajatkan langkah ke rumah bang Din yang sudah dari tadi mengirimkan pesan lewat Blackberry Massanger. Tak lama sampai, gemuruh hujan akhirnya turun malam itu.

Berwisata kemana saja, khususnya Aceh, belum sah jika tidak mencoba berbagai masakan khas yang kaya rempah. Rasa asam dan pedas adalah cita rasa yang umumnya disukai oleh penduduk di Tanah Rencong. Cita rasa inilah yang bakalan saya coba nantinya. Masakan ini digemari diseluruh penjuru negeri, kabarnya hanya orang-orang tertentu saja yang sering memakannya. Namanya masakan tersebut adalah gulee asam keueng eungkot keureuling.

Asap dari keureuling yang sedang dimasak mengepul dari dapur rumah bang Din. Jujur, saya sangat penasaran dengan rasa ikan yang harganya selangit ini. Kata banyak orang, masakan keureuling adalah hidangan yang langka, namun tidak bagi masyarakat di sini. Karena hampir saban hari menu ikan ini selalu ada di rumah-rumah warga.

Keureuling atau jurung adalah ikan air tawar yang banyak ditemui di sungai-sungai besar di Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Di Aceh ikan ini memiliki nilai jual tinggi dan selalu laku di pasaran, sangat cocok dimasak asam keueng, gulee leumak mahupun dengan u teuleu.

Tak lama menunggu, masakan keureuling pun siap. Dagingnya yang putih terlihat jelas dalam semangkok gulai asam keueng (asam pedas) dengan dihidangkan dalam talam (nampan besar), bersama nasi putih dan sambal teri. Warna kuning alami dengan kunyit mendominasi gulee keureuling. Seketika lidah langsung bergairah ingin mencicipinya.

Ka Ril, peu preh lom, bek malee-malee” (Ayo Ril, tunggu apa lagi, jangan malu-malu), tutur bang Din.

Tak menunggu lama, langsung secubit daging keureuling masuk kemulut untuk merasanya. Benar saja, tekstur super lembut dan lezat seakan pecah dimulut. Segarnya jeruk nipis dan belimbing sayur berpadu menjadi satu. Rasa nikmat dari ikan yang sedikit bertulang di dagingnya ini benar-benar membuat ketagihan. Pantaslah harga daging ikan ini dapat mencapai Rp. 100.000 /Kg.

Ikan air tawar yang memiliki banyak sisik biasanya selalu menyisakan bau amis, namun tidak untuk hidangan kali ini. Dengan dimasak asam keueng ala Aceh, bau itu sama sekali tak tercium. Hanya ada kata “mantap” yang pantas dirucap.

Masih kata bang Din, ikan keureuling bisa tumbuh sangat besar dan panjangnya bisa mencapai satu meter. Makin jumbo ukurannya, maka semakin tinggi pula harga jualnya. Jika sedang musimnya bang Din dapat membawa pulang puluhan ikan bahkan mencapi satu karung lebih. 

Malam itu berakhir dengan rasa puas. Pengalaman dan kesempatan seperti ini tentu tak semua orang bisa menikmatinya. Beruntung, dalam dunia yang makin modern, saya masih bisa menikmati hidangan eksklusif ini dengan sama sekali gratis. 

Tradisi budaya Timur yang penuh dengan nuansa kekeluargaan akhirnya menyatu dalam semangkok gulai engkot keureuling. Saya percaya, hal seperti ini ada kaitannya dengan sejarah Aceh yang begitu solid. Biarpun globalisasi budaya Barat makin gencar menyerang, warisan endatu dalam wujud pemuliaan tamu dan ramah-tamah patut dipertahankan, kerena inilah budaya kita yang sesungguhnya.[]


Baca Lagi: Garis Pantai Manggeng

Popular posts from this blog

Terkenang Beutong Ateuh Banggalang

Keindahan Pantai Batee Puteh di Meukek

Gunong Trans, Kehijauan Sejauh Mata Memandang

Di Aceh, Menikah dan Khitanan "Harus" Berinai