Sisa Kereta Api Aceh

Rawohnanggroe | Aceh pernah berjaya dengan kereta api. Alat transportasi jenis ini pernah berlalu lalang di Tanoh Rencong. Pada masanya kereta api Aceh melayani jalur Ulee Lheue-Kutaradja, Kutaradja-Lambaro sampai ke Medan.
Sisa lokomotif Aceh | Foto: Khairil

Dulu kereta api adalah sarana tranportasi yang paling berkembang di dunia, dari itulah Belanda membangunnya. Belanda percaya bahwa kereta api sangat cocok dibangun di Aceh, mengingat daerah ini merupakan daerah kaya dengan berbagai komoditas yang diminati dunia pada saat itu.

Selain untuk kepentingan ekonomi, kereta api yang dibangun Belanda juga sarat akan unsur politik dan militer. Karena melalui jalur kereta api inilah Belanda dengan leluasa dapat memasok perlengkapan senjata mereka untuk melawan perjuangan rakyat Aceh.

Belanda sangat berambisi untuk menguasai seluruh Aceh. Mereka berpikir dengan adanya kereta api, akan dengan mudah dapat menguasai seluruh Aceh. Kutaradja yang direbut Belanda dari tangan para Sultan Aceh, kemudian dijadikan sebagai pusat militer, ekonomi dan benteng kekuatan Belanda untuk melawan pejuang gerilya Aceh.

Jalan kereta api Aceh dibangun dengan tujuan utama untuk kepentinagn politik dan ekonomi. Besi dan kayu untuk pembangunan kereta api didatangkan dari Singapura. Sedangkan kayu untuk bantalan rel berasal dari Malaka yang didatangkan tahun 1875 dan material untuk rel dari Inggris. Jalur kereta api lintas Ulee Lheue–Kutaradja memiliki panjang 5 kilometer, yang dibuka untuk lalu lintas umum pada tanggal 12 Agustus 1876.

Pembangunan jalur kereta api tentu akan memperlancar arus distribusi barang dan mempersingkat waktu tempuh pada saat itu. Namun sayang, kereta api Aceh kini hilang bak ditelan bumi. Sekarang hanya tersisa monumen dan prasasti yang dibangun kemudian di lokasi stasiun, sedangkan jalur rel dan bangunan stasiun hilang tanpa bekas.

Salah satu kereta api Aceh kini terpajang di samping pusat perbelanjaan Barata. Sebuah sisa lokomotif yang terlihat usang tak terurus dengan nomor seri “BB 84”. Monumen ini adalah saksi bisu sejarah kereta api Aceh dan tentu mengingatkan kembali kepada kita bahwa Aceh sudah pernah memiliki jalur kereta Api jauh sebelum Indonesia merdeka.

Selain lokomotif tua, sebuah prasasti juga dibangun tepat di seberang jalan di depan Masjid Raya Baiturrahman. Isi dari prasasti tersebut berbunyi “Ini adalah stasiun kereta api yang pernah dibangun Belanda pada tahun 1875, kala itu stasiun tersebut difungsikan sebagai portal distribusi logistik militer yang menghubungkan pelabuhan Ulee Lheue dan Lambaro sampai ke Medan“.

Selain monument dan prasasti, di Banda Aceh juga banyak tanah milik PT. Kereta Api Indonesia. Tanah ini pada mulanya adalah milik Kesultanan Aceh Darussalam yang direbut Belanda. Sekarang sudah menjadi hak Pemerintah Indonesia. Tanah tersebut terlihat kosong tanpa bangunan, padahal di tempat inilah dulunya terdapat stasiun, kantor, gerbong-gerbong dan segala perlengkapan perkeretaapian.

Melihat Banda Aceh saat ini makin berkembang, layaknya sebuah kota besar, sarana transportasi kereta api adalah pilihan yang cocok untuk dikembangkan. Agar kemudian hari Banda Aceh sebagai ibukota provinsi tidak tertinggal dari daerah lain. Kereta api juga bisa jadi pilihan untuk alat transportasi umum ramah lingkungan yang dapat melerai kemacetan di kota berjuluk Agra van Andalas ini.

Walaupun sekarang sudah ada wacana pembangunan jalur kereta api trans Sumatra. Namun sayang, sampai saat ini realisasinya berjalan sangat lamban. Sebuah pertanyaan yang kemudian muncul, akankah kereta api Aceh kembali hadir?.[]


Baca juga: Jejak Awal Pemukiman Manggeng

Popular posts from this blog

Terkenang Beutong Ateuh Banggalang

Keindahan Pantai Batee Puteh di Meukek

Di Aceh, Menikah dan Khitanan "Harus" Berinai

Mengintip Tiga Pantai Bakongan Timur