Satu Pagi di Jangka Buya

Rawohnanggroe | Pagi ini seperti biasanya. Langit tetap saja menguning di ufuk timur dan udara dingin berhembus merasuki setiap lekuk muka bumi. Bedanya karena saat ini Aku sedang berada di daerah yang tidak pernah ku jejaki sama sekali. Tempat itu adalah Ulim, tepatnya di Gampong Siblah Coh, Pidie Jaya. Aku dan enam anggota lainnya menetap di sini selama 30 hari bersama wajah, kuliner dan tutur kata baru.
Pasi Aron, Jangka Buya | Foto: Khairil

Datang ke tempat ini bukan tanpa alasan, melainkan untuk mengabdikan diri kepada masyarakat. Kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) ini merupakan sebuah tugas yang diwajibkan kepada setiap mahasiswa. Di mana mereka akan ditempatkan ke satu daerah yang bisa jadi sangat berbeda bahasa, budaya dan kebiasaan penduduknya.

Setelah lebih dari sepuluh hari berinteraksi dengan masyarakat, hari-hari selanjutnya kami tak lagi merasa canggung. Tidak seperti pada awal kedatangan ke sini, Aku sempat merasakan culture shock.

Setelah beberapa hari terlewati, kami pun telah berbaur dan menjadi bagian dari masyarakat setempat, meski hanya sementara waktu saja. Jujur, banyak perbedaan yang terasa, namun bukan keluh-kesah itu yang ingin ku bagi, melainkan sebuah pengalam yang sayang jika tidak diceritakan.

Ini pagi ke 12 di Ulim, tak ada yang istimewa. Alarm membangunkanku pagi itu. Alarm yang ku buat adalah sebagai penanda untuk segera mengelurakan motor dari rumah Pak Keuchik. Maklum, saat di Banda Aceh aku sering telat bangun.


Seketika saja Aku tergugah ingin menyaksikan fajar menyingsing di bumi yang dahulu dipanggil dengan nama Pedir ini. Beberapa hari sebelumnya pun rasa penasaran itu sempat mencuat, tentang keindahan sunrise di Selat Malaka yang merupakan salah satu jalur lalu-lintas laut tersibuk dunia.

Tanggal 15 Agustus 2014, langkah kaki ini tak terbendung lagi. Meski masih lengang bisu, Aku dan Iskandar menyepakati untuk mengunjungi sebuah pantai yang tak jauh dari gampong. Iskandar merupakan warga Gampong Siblah Coh, Ia sudah tahu persis di mana pantai yang akan kami kunjungi.

Lokasi yang kami tuju yaitu Pantai Aron yang terletak di kecamatan sebelah, Jangka Buya. Perjalanan diawali dengan menyusuri jalanan bekas rel kereta api di desa tempatku tinggal, hingga sampai pada tambak-tambak warga. Setelah menempuh sekitar 20 menit perjalanan, akhirnya kami sampai ke pantai yang dimaksud.

Warga sekitar menyebut pantai ini dengan nama Pasi Aron. Pantai ini merupakan tempat para nelayan tradisional menambatkan perahunya, terlihat dari banyaknya perahu yang bersandar. Pantainya ditumbuh pohon cemara dan banyak berdiri bangunan-bangunan milik para nelayan.

Lebih jauh menyusuri pantai, di bagian timur terdapat tanggul pemecah ombak yang membujur ke arah matahari terbit. Kami sempat menyusurinya, sambil menikmati pulot panggang yang kami beli di pinggir jalan saat menuju ke sini.

Sekian lama duduk di atas tanggul, kami berjalan menuju ke arah barat pantai. Di ujung ada sebuah muara yang memotong pantai. Airnya mengalir deras dan terdapat sebuah pulau pasir di tengahnya. Karena suasana pagi yang tenang, menyusuri bibir Pasi Aron begitu menyenangkan, hingga tidak terasa waktu sangat cepat berlalu.

Kondisi pantainya memang tidak terurus. Hal itu tidak terlalu penting, karena Aku adalah manusia yang haus akan keindahan dan merasa senang bisa merasakan indahnya fajar ciptaan Tuhan di negeri orang.

Pasi Aron, Jangka Buya, fajar ini telah berbisik di daun telinga. Dia dengan gemulai membelai benang qalbu. Dalam jauh bersama pagi menyingsing, ku titip rindu pada rona langit.[]


Rawoh lain: Sisa Lokomotif Aceh

Popular posts from this blog

Gunong Trans, Kehijauan Sejauh Mata Memandang

Terkenang Beutong Ateuh Banggalang

Keindahan Pantai Batee Puteh di Meukek

Di Aceh, Menikah dan Khitanan "Harus" Berinai