Tradisi Kuliner Unik Gulee Awak Agam

Rawohnaggroe | Jalanan kampung terasa rasa sepi pagi itu. Padahal matahari baru saja beranjak dari peraduannya. Hari itu di gampongku akan ada sebuah acara keluarga. Di rumah yang masih kerabat dekat, akan berlangsung acara Jak ba tanda. Prosesi ini adalah salah satu rangkaian adat perkawinan yang biasanya dilakukan dalam masyarakat Aceh.
Mencincang daging | Foto: Khairil

Kamis, 9 Oktober 2014 adalah hari ke lima lebaran Idul Adha 1435 H. Suasana kampung kembali menjadi meriah, terutama di rumah yang mengadakan kenduri tersebut. Ini bedanya gampong dengan perkotaan, ketika sebuah keluarga mengadakan hajatan, seluruh warga akan ikut membantu berlangsungnya acara ini. Saling membantu memang sudah menjadi kebiasaan. Hari ini membantu orang, kedepan kita pula yang dibantu.

Sehari sebelumnya Bang Tok mengundangku ke rumahnya. Padahal hari itu sudah berencana untuk balik ke Banda Aceh dan terpaksa aku urungkan. Dalam tradisi ini adalah sebuah kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan.

Sekitar pukul 09.00 WIB, Aku tiba di rumah kenduri dengan membawa sekilo gula pasir. Inilah kebiasaan lainnya di Manggeng. Setiap undangan yang datang selalu membawa buah tangan. Kaum laki-laki biasanya akan membawa satu kilogram gula, ikan, telur atau satu karung beras dan diserahkan kepada si punya rumah pada saat bersalaman. Sedangkan kaum hawa biasanya akan membawa kado yang isinya beragam, bisa gelas, kain, sarung, kue dan sejenisnya.

Ketika sampai, Bang Tok sudah siap menunggu tamu yang terus berdatangan sejak pagi. Sesaat setelah menyerahkan gula, aku langsung menuju ke bagian belakang rumah. Di sana sudah banyak warga gampong, terutama para orang tua yang duduk sambil mengobrol dan menikmati segelas kopi panas. Sedangkan ibu-ibu disibukkan dengan kegiatan yang berhubungan dengan dapur, seperti menggoreng ikan, memasak nasi dan mencuci piring.

Asap mengepul dari beberapa tungku kayu. Suara riuh kian menambah kesibukan rumah tersebut. Aku langsung menuju ke meja kopi. Di sana beberapa pemuda sudah siap sedia dari tadi. Mereka menunggu tamu yang datang, kemudian menawarkan segelas kopi dan biasanya memang ditugaskan kepada pemuda.

Ada yang spesial saat diadakan pesta di kampungku. Pihak yang punya rumah selalu menyediakan gulee awak agam (gulai khusus laki-laki). Masakan ini adalah salah satu menu wajib yang selalu dimasak oleh kaum laki-laki. Ini telah menjadi tradisi dan kebiasaan di tanah kelahiranku.

Sambil menikmati segelas kopi, pandangan terarah kepada pemuda-pemuda yang duduk melingkari daun pisang. Nampaknya sedang menunggu bebek panggang. Mereka di situ bukan untuk menikmati bebek tersebut, melainkan bertugas untuk mencincangnya menjadi bagian-bagian kecil seukuran ibu jari.

Saat bebek siap dipanggang mereka pun langsung mencincangnya di atas daun pisang yang disediakan sebagai alas alami untuk memotong bebek.

Sebuah tungku dengan kuali besar juga sudah siap di sana. Sebelum itu boh panah (nangka) telah siap dicincang dengan ukuran kecil. Setelah bahan utama semua siap, barulah bebek dicampur dengan bumbu khusus yang tediri dari berbagai macam rempah-rempah khas. Sementara buah nangka langsung dimasak dengan santan. Kegiatan ini selalu dilakukan bersama-sama, sehingga menjadi cepat selesai.
Tradisi gulee awak agam | Sumber: Youtube

Beberapa saat, aroma pekat dari percampuran bumbu-bumbu dengan daging bebek menyengat kedalam hidung. Beberapa pemuda langsung mencicipi hasil racikan mereka, tujuannya untuk merasa bahan apa yang masih kurang. Sebenarnya dalam membuat masakan ini bukan hanya dengan bebek saja, bisa juga menggunakan kambing, sapi, kerbau atau angsa.

Setelah nangka cincang yang dimasak dengan santan tadi mendidih, barulah daging bebek yang telah diaduk dengan bumbu dimasukkan. Dalam proses pengadukkan, biasanya sendoknya terbuat dari pelepah daun kelapa yang dibuat khusus.

Kuliner ini lazim juga disebut gulee boh panah. Keunikan lainnya adalah karena dimasak dalam porsi jumbo dan hanya ditemui pada saat kenduri saja. Bisanya masakan ini selalu ada pada acara tron tanoh, aqiqah, jok bu bidan, khitanan, jak ba tanda, pernikahan, kematian dan acara yang berkaitan dengan urusan dunia lainnya.

Seluruh warga gampong lebih memilih makan di halaman belakang rumah dekat kuali besar. Bukan tanpa alasan, tentu karena adanya gulee awak agam yang spesial ini. Sedangkan tamu dari luar kampung akan makan di dalam rumah atau pada hidangan adat Prancis.

Sebelum gulai ini masak, juru masak harus selalu mengaduknya supaya santan tidak pecah. Tujuannya agar semua bumbu meresap ke semua bahan. Katarnya, untuk menjadi seorang juru masak bukanlah orang sembarangan. Ia harus mengerti tatacara mengaduk, perapian, membagi dan mengetahui aroma yang semestinya.

Sebenarnya ada bumbu tambahan yang kerap digunakan untuk menambah kegurihan, yaitu biji ganja yang sudah digiling. Biasanya dalam jumlah sedikit dan akan dicampur sesaat sebelum gulai masak. Katanya, ini berfungsi untuk mengikat dan memperkuat rasa gurih dari bumbu-bumbu yang telah dicampur tadi.

Mengenai sebutan mengapa masakan ini sering dinamakan gulee awak agam. Dikarenakan semua proses dan tahapan memasak semuanya dilakukan oleh kaum laki-laki, kecuali menggiling bumbu. Selain itu ketika hidangan siap pun pihak perempuan jarang mendekat dan mengambil gulai. Jika hal itu dilakukan maka mereka akan mendapat teguran dari para pemuda.

Setengah jam berlalu. Gulai yang selalu wajib disediakan pada setiap acara ini, akhirnya mulai mendidih. Kuah yang nampak kekuningan mulai meletup-letup di atas panasnya lidah api. Berulang kali juru masak merasakan kuah dan daging nangka untuk memastikan rasa dan teksturnya. Tak sampai di situ saja, beberapa orang pun dimintai untuk mencicipi, seperti kepada orang tua dan pemuda. Tujuannya untuk memastikan kesesuaian rasa pada khalayak ramai.

Saat masakan dinyatakan telah siap, pemuda, orang tua dan anak-anak yang menunggu sejak pagi akan langsung mengambil nasi yang telah disediakan. Keunikan lain dari tradisi gulee awak agam adalah saat semua tamu langsung menyodorkan piring yang sudah berisi nasi ke atas kuali besar untuk mendapatkan sesendok hidangan.

Soal rasa jangan diragukan lagi. Masakan yang hanya bisa ditemukan di Barat-Selatan Aceh ini memiliki citarasa yang nikmat, gurih nan menggoda. Bumbu khas yang pekat bercampur dengan semua bahan, membuatnya digemari oleh siapa saja. Bukan hanya daging bebek saja yang gurih, kuah kentalnya, juga nangka cincang sangat nikmat dimakan saat panas. 

Duduk di belakang rumah di bawah pohon-pohon rindang bersama pemuda dan masyarakat gampong, tentu akan menambah keakraban. Sudah lama rasanya tidak mencicipi masakan ini. Hari itu, akhirnya kembali dapat menikmati nikmatnya rasa yang tetap sama seperti dulu.

Ketika sedang makan hidangan tambahan datang. Berbagai lauk-pauk yang disediakan di dalam talam atau nampan besar. Ini hanya sekedar tambahan, kerena yang menjadi menu utama adalah gulee awak agam.

Hari menjelang siang itu depenuhi dengan rasa puas dari warga gampong. Terlihat dari obrolan dan raut muka mereka. Sambil meniup secangkir kopi panas penutup makan, beberapa pemuda tersenyum mendengar ucapan seorang orang tua “Gulee kali nyoe hana wayang.” Ya, gulee awak agam memang bukan main nikmatnya.[]

Popular posts from this blog

Sejarah Ringkas Kenegerian Manggeng

Lupek, Kuliner Rakyat Jelata

Terkenang Beutong Ateuh Banggalang

Di Aceh, Menikah dan Khitanan "Harus" Berinai