Melaju di Lingkar Laut Tawar

Rawohnanggroe | Matahari hampir mencapai pucak. Sedang cuaca masih sendu merayu di sekitar Kota Takengon 1 Februari  2015. Sayab-sayap kabut menutupi hampir seluruh cakrawala laut tawar. Hari itu sebuah pengalaman seru terukir. Berkesempatan mengitari danau terbesar di Aceh merupakan pengalaman baru.
Kabut tipis di atas Laut Tawar | Foto: Khairil

Perjalanan bermula dari pusat kota. Setelah dibuai pagi yang sejuk, sekitar pukul 10:50 WIB motor mulai melaju menuju ke destinasi pertama. Dengan menggunakan dua kenderaan dan beranggotakan lima orang, Aku, Akmal, Ratna, Rauzah dan Lizan. Kami memilih jalur utara, bukan karena apa melainkan ada sebuah objek wisata yang melegenda di sana.

Hujan rintik-rintik mulai menemani perjalanan. Anggap saja ini sebagai sebuah acara penyambutan dari langit agar perjalanan kami selamat dan menyenangkan. Tak lama meluju dipinggiran pengunungan menghijau, jalanan mulai menanjak. Panorama pun mulai menggoda mata, hingga kami tak tahan segera menyalurkan hasrat untuk segera berfoto ria.

Perjalanan berlanjut. Hanya sekitar setengah jam dari pusat kota, akhirnya sampailah ke gua tempat persemayaman terakhir putri dari Tanah Gayo. Memasuki kedalam goa, pengunjung akan disuguhkan dengan pemandangan stalaktit dan stalagmit alami. Sayang ada beberapa bagian goa yang sudah ditambah dan diubah bentuk aslinya.

Namanya Goa Putri Pukes, alkisah menyebutkan putri ini dikutuk menjadi batu karena tidak mematuhi perintah ibunya, yang mengatakan bahwa sang suami tidak akan kembali dari kepergiannya. Karena merasa kesal, lalu Ia menumpahkan amarahnya dengan menendang ibunya yang sedang shalat.


Sang ibu merasa apa yang dilakukan anaknya sudah tidak pantas sehingga berdoa kepada yang maha kuasa agar memberi pelajaran pada anaknya, doa itupun akhirnya dikabulkan sehingga membuat Pukes perlahan-lahan berubah menjadi batu.

Setelah beberapa lama di Gua, perjalanan berkabut itu terus berlanjut diantara pegunungan ilalang dan pinus menjulang. Sepanjang perjalan di sisi utara, mata terus memandang perairan tenang di bawah sana. 


Danau terluas di Aceh ini tetap perkasa terlihat, meski bulir gerimis terus turun di bawah mendung yang tak jauh dari puncak-puncak di sekelilingnya. Sesekali jalan kami sedikit terhalang, lantaran jalan yang rusak lagi menurun.

Kali ini tibalah kami di satu pondok persinggahan tepat di pinggiran jalan yang katanya tembus ke Blangkeujeren ini. Cercah cerah sesaat menyingsing. Sambil melepas lelah sedikit, kami membuka makanan ringan yang sempat dibeli di Takengon. Setelah beberapa saat perjalan berlanjut, dan kembali singgah di tebing di tepi jalan, tepat di atas persawahan Kecamatan Bintang.

Dari atas sini pemandangan begitu menggugah mata. Hamparan persawah terasering berpadu dengan ujung laut tawar, hingga kami menlanjutkan perjalanan melewati Pemukiman Bintang yang berada di sisi timur Kota Takengon. Kami juga sempat menyinggahi dermaga bintang yang tenang.

Dermaga Bintang sepertinya tak berfungsi lagi, tak terlihat satu pun boat yang berlabuh, hanya terlihat bocah-bocah bermandi riang. Sebuah tugu pacuan kuda juga terlihat telah jatuh ke dasar danau. Nama tugu ini bisa dibaca dengan jelas karena beningnya air. Dari sini tak nampak sedikitpun wajah Kota Takengon, entah terlalu jauh atau karena terhalang kabut tebal yang sudah sedari pagi.

Putaran ban motor terus melaju meninggalkan Bintang. Di jalan, kami kembali menemui tanjakan dan sesekali bertemu dengan pemukiman di sela-sela bukit. Memasuki jalur selatan di lingkaran selatan Laut Tawar, matahari mulai cerah menyinari dataran Tinggi Gayo.


Setelah hampir dua jam mengeliling danau akhirnya sampailah di Gua Loyang Koro. Goa ini berjarak sekitar tiga kilometer dari Hotel Renggali, satu penginapan yang sangat legendaris di Aceh Tengah

Loyang Koro merupakan gua alami yang teletak di Tebing Selatan danau Laut Tawar. Menurut cerita goa ini dinamakan demikian karena adanya kerbau yang membatu di dalamnya. Koro artinya kerbau dalam Bahasa Gayo.


Luasnya kira-kira 10 meter dengan kedalaman bervariatif. Disebabkan suatu hal, kami memutuskan untuk tidak memasukinya, dan memilih menikmati pinggir perairan dengan menaiki perahu penyeberang menuju keramba-keramba penduduk di tengah danau.

Sekitaran Laut Tawar menyimpan kekayaan alam dengan daya tarik wisata yang potensial dikembangkan. Merasa kecewa memang, berkesempatan melaju di cekungan air tawar terbesar di Aceh ini, tapi belum bisa ke semua tempat menarik di sana.


Air terjun Mengaya, Pantan Terong, Bur Gayo, juga Pantai Manye, Ketibung dan lain-lain merupakan tempat menarik yang seharusnya membuat kami terkagum-kagum. Namun tak apa, ini bisa jadi alasan untuk kembali lagi ke Tanoh Gayo nantinya.

Lelah pun hinggap di tubuh. Setelah empat jam melaju di lingkar Laut Tawar, kami memutuskan untuk pulang. Perlahan, Takengon terlihat di kejauhan hingga bertemu dengan mulut hulu sungai Peusangan yang menandakan kami telah memasuki kota.

Tanoh Gayo, anugrah ribuan lembah mengajakku kembali. Julang-julang merayuku memandang. Hawa membawaku padu dengan lengkung jalan, depik kering dan segelas kopi.[]


Rawoh lain: Makam Pahlawan Nyak Arief

Popular posts from this blog

Mengintip Tiga Pantai Bakongan Timur

Gunong Trans, Kehijauan Sejauh Mata Memandang

Keindahan Pantai Batee Puteh di Meukek

Di Aceh, Menikah dan Khitanan "Harus" Berinai