Pusara Pahlawan Teuku Nyak Arief

Rawohnanggroe | Teuku Nyak Arief, sekilas ketika mendengar nama itu langsung akan teringat nama sebuah jalan yang ada di Kota Banda Aceh yaitu jalan utama menuju kampus Universitas Syiah Kuala. Senada dengan Asmarizal seorang mahasiswa di Darussalam; “Saya tahunya T. Nyak Arief itu nama jalan di Darussalam, tentang siapa dia itu saya kurang tahu”. 
Gapura Makam T. Nyak Arief | Foto: Khairil

Teuku nyak Arief adalah seorang pahlawan Nasional Indonesia. Beliau lahir di Ulee Lheue, Banda Aceh pada tanggal 17 Juli 1899. Nyak Arief pernah menempuh pendidikan SD di Banda Aceh, Kweekschool (Sekolah Para Raja) di Bukit Tinggi dan Osvia (Sekolah Pamong Praja) di Serang, Banten, Jawa Barat.

Memang tidak banyak yang tahu tentang Pahlawan Nasional satu ini, padahal cukup banyak jasa dan pengorbanannya untuk Bangsa. Hal ini disebabkan minimnya pengetahuan sejarah dan kurangnya kesadaran akan pentingnya menghargai jasa pahlawan baik dikalangan akademis maupun masyarakat kita.


Ada satu bukti kuat akan perjuangan dan keberadaannya, yaitu makam beliau yang berlokasi di Desa Lamreueng, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Bangunan kompleks makam ini teletak tepat berada di pinggir jalan. Kira-kira berukuran 30x8 meter persegi yang di dalamnya terdapat beberapa makam, kondisinya cukup terurus dan tertata rapi. 

Namun sayang kita tidak dapat masuk ke dalam karena tidak ada petugas penjaga makam serta pintu gerbangnya yang terkunci. Di bagian dinding pintu gerbang dapat kita lihat prasasti yang memuat tentang perjuangan Beliau.

Pada masa perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Teuku Nyak Arif adalah wakil pertama dari Aceh di Voolksraad (Dewan Rakyat) dan ketua NIP (National Indiche partij) cabang Kutaraja. Kemudian Beliau dilantik sebagai Gubernur Aceh pertama (1945–1946) oleh Gubernur Sumatra pertama yaitu Moehammad Hasan, yang juga berasal dari Aceh.

Ia juga merupakan salah seorang pendiri Fraksi Nasional dalam Voolksraad. Ia kerap mengkritik kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang selalu merugikan rakyat. Demikian pula pada jaman Jepang, Nyak Arief selain ditunjuk sebagai anggota Aceh Syu Sangikai (Dewan Rakyat Aceh), juga dipercaya menjadi anggota Sumatera Cuo Sangi In (Dewan Rakyat Sumatera). Meskipun kedua lembaga tersebut bentukan Jepang, namun secara diam-diam Nyak Arief tetap melakukan gerakan bawah tanah untuk menentang Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, Teuku Nyak Arief diangkat sebagai Residen Aceh. Ketika itu Aceh masih ada tentara Jepang yang tersisa menunggu diusir oleh sekutu. Sekutu ditolak masuk oleh Teuku Nyak Arief, alasannya pemerintah Daerah Aceh mampu melakukan hal itu.


Teuku Nyak Arief kemudian melucuti senjata tentara Jepang. Kemudian terjadilah perang antara pejuang Aceh melawan Jepang yang dikenal sebagai peristiwa Krueng Panjo, Bireuen. Saat itu Pemerintah Daerah Aceh juga difusingkan oleh adanya pemberontakan yang dilakukan oleh golongan Ulama di Aceh yang ingin mengambil alih tampuk pemerintahan dari golongan Ulee Balang (bangsawan). 

Untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah, Teuku Nyak Arief sebagai Residen Aceh membiarkan dirinya untuk ditawan oleh Laskar Mujahidin dan Tentara Perlawanan Rakyat (TPR). Teuku Nyak Arief kemudian dibawa ke Takengon. Tidak lama kemudian, pada tanggal 4 Mei 1946, Teuku Nyak Arief meninggal.

Kini hanya kompleks makam itu yang tersisa yang mengubur begitu banyak jasa dan perjuangan beliau yang begitu bernilai harganya.[]

Popular posts from this blog

Mengintip Tiga Pantai Bakongan Timur

Gunong Trans, Kehijauan Sejauh Mata Memandang

Keindahan Pantai Batee Puteh di Meukek

Di Aceh, Menikah dan Khitanan "Harus" Berinai