Ingatan Malapetaka 2004

Rawohnanggroe | Suasana pagi di kampung seperti biasanya. Kicauan Cicem Seumalo (burung benalu) selalu hadir kala matahari mulai cemerlang di belahan Timur. Beberapa warga tetap sibuk dengan aktifitasnya diakhir pekan.
Kehancuran 2004 silam | Sumber: Google

Kejadian itu sudah berlalu lebih sepuluh tahun. Saat itu, Aku berumur sekitar 11 tahun dan baru saja naik ke kelas lima sekolah dasar di gampong kelahiranku. Saban hari bermain merupakan hal yang paling sering dilakukan.

Tak seperti anak-anak di perkotaan yang menghabiskan minggu paginya dengan menonton serial kartun, sedang kami biasanya selalu bermain berbagai permainan tradisional. Uniknya, bukan hanya anak-anak saja yang melakukannya, pemuda pun ikut bermain untuk sekedar mengisi waktu luang.

Pagi 26 Desember 2004, sekitar pukul 07.30 WIB kami sudah berkumpul di Musholla Dusun Jeumpa. Letaknya persis di tepi Jalan Tgk. Agam, Gampong Blang Manggeng, sekitar dua kilometer dari pusat kecamatan di Kedai Manggeng. Musholla ini sudah beberapa tahun tidak digunakan lagi untuk kegiatan ibadah, sehingga dapat kami gunakan untuk tempat bermain. Permainan yang sering kami mainkan, seperti meuen geutah, takat silop, simbang, jeuntek dan masih banyak lagi.

Kala itu permainan prok rukok (kotak rokok) menjadi permainan yang digemari anak-anak kampung. Ini sebuah permainan taruhan, terbuat dari kotak rokok bekas dan bentuknya dibuat segi tiga. Setiap kotak dari jenis rokok tertentu memiliki harganya sendiri, tergantung harga jualnya di pasaran. Paling tinggi adalah yang langka dan susah didapatkan, begitu sebaliknya.

Tepat di dekat jendela, kami duduk melingkar mengelilingi tumpukkan prok rukok yang telah terkumpul dari semua pemain. Saat itu, yang ikut bemain Aku, Arzan, Syafran, Mulia dan Murizal, sedang Bang Yong, seorang pemuda gampong duduk tepat di atas jendela. Ia juga ambil bagian dalam permainan saat itu.

Sekitar setengah jam bermain setelah beberapa kali putaran, tiba-tiba saja goncangan menyentak kami. Bumi mulai bergetar, bergoyang dan naik turun seakan sebuah perahu yang sedang diombang-ambing badai. Perasaan campur-aduk. Seumur hidup ini adalah gempa terbesar yang pernah kami rasakan.

Arzan, teman paling periang diantara kami, terduduk di atas lantai musholla. Tangannya ingin meraih sesuatu untuk dipegang. Begitu juga Bang Yong yang semula bertengger di atas jendela. Ia turun ke lantai bersama kami yang sudah kalang-kabut diguncang gempa.

Semuanya hanya bisa duduk dan diam di dalam musholla yang berdinding beton, beratap seng dan tak berplafon itu. Gerak kami benar-benar terkunci seketika.

Guncangan berlangsung sekitar dua menit. Atap dan tiang-tiang musholla berbunyi seperti akan runtuh, barang-barang pecah terdengar dari rumah-rumah sekitar. Entahlah, tak ada kata-kata yang mampu melukiskan kengerian minggu kelabu itu.

Getaran yang tercatat mencapai 9,1 Richter ini menimbulkan spontalitas dari kami yang masih polos. Semuanya mencoba menengadah tangan, membaca apa saja, mulai dari kalimah syahadat juga ayat-ayat pendek yang baru bisa kami hafal. Kala itu, serasa inilah akhir dunia, pemikiran itu mucul saat bumi sedang berguncang hebat.

Beberapa saat dibuat kalang kabut oleh guncangan gempa, akhirnya getaran menakutkan itu berhenti. Semua raut wajah tampak pucat dan ketakutan, bahkan Bang Yong sekalipun. Tak ada kerusakan bearti pada bangunan tua itu, padahal tiang-tiang kayu musholla ini sudah benar-benar lapuk.

Bergegas kami keluar dan ingin pulang ke rumah. Tiba-tiba, seorang paruh baya, Bang Mut namanya, keluar dari arah persawahan. Ia kemudian berhenti di persimpangan tak jauh dari Musholla dan berbincang dengan seorang yang ditemuinya di jalan.

Ia mengatakan, beberapa tanah retak dan mengeluarkan semburan air dan pasir disebidang tanah miliknya dekat persawahan. Berita aneh ini membuat kami penasaran dan mendatanginya. Benar saja sesampainya di sana, terlihat beberapa mata air dan pasir tersembur dari tanah yang retak.

Sepulang dari sawah, kabar aneh kembali singgah di telinga kami. Seorang tak dikenal kembali membawa kabar yang baru pertama kali kami dengar. Ia datang dari arah gampong di pesisir, mengungkapkan bawah air telah surut jauh ke tengah laut.

Mendengar kabar itu, aku dan beberapa kawan lainnya bergegas pulang ke rumah. Saat sampai, kakak juga memberi tahu bahwa air telah naik ke daratan. Ia mendengar berita ini dari orang Padang Meurandeh yang singgah di jalan di depan rumah. Kakak yang belum tahu sama sekali tentang apa yang terjadi malah menyuruh ku untuk melihat kondisi di pantai.

Merasa penasaran dengan kabar yang hinggap di telinga, Aku dan beberapa kawan akhirnya berangkat ke pantai dengan mengayuh sepeda. Jarak gampong dengan pantai sekitar dua kilometer. Bagi kami yang masih anak-anak, jarak itu terbilang cukup jauh. Dikarenakan rasa penasaran terus mendorong, kami sampai ke sana hanya dalam belasan menit saja.

Kami mendatangi Suak Udeung, sebuah pantai yang terletak di Desa Alue Rambot, Kecamatan Lembah Sabil. Ketika sampai, genangan air telah naik ke jalanan, tingginya sekitar setumit orang dewasa. Di dalam lhung (parit) air laut juga terlihat penuh, warnanya hitam legam dan seperti berarus. Terasa sangat aneh, biasanya air dari arah pegunungan menuju daratan rendah, kali ini malah air laut yang membanjiri jalanan gampong dan perumahan warga.

Tak ada rasa takut sedikit pun dalam benak dengan apa yang kami saksikan. Malahan perjalanan terus berlanjut menuju bibir pantai. Di dusun Suak Udeung ini, banyak rumah yang terlihat tergenang air laut. Beberapa warga juga sibuk membersihkan rumah dan mengemas barang-barang agar tidak terkena air.

Sampai di pantai kami menyaksikan beberapa rumah telah rubuh dan hancur diterjang gelombang besar. Rasanya aneh, karena beberapa waktu sebelumnya kami pernah ke sini. Dulu belasan rumah tepat berdiri di pinggir pantai. Namun semua telah terlihat rusak. Kami tak terlalu menghiraukan tentang hal ini, malahan kami keasyikan melihat puing-puing.

Beberapa kali, gelombang kecil juga terlihat masuk ke mulut muara. Tak ada satu orang pun dari masyarakat tahu tentang bencana apa yang telah menerjang mereka, begitu juga kami. Orang-orang hanya menyebutnya dengan air pasang.

Puas dengan pemandangan tadi, kami pun beranjak menuju pantai. Jaraknya sekitar 20 meter dari rumah yang telah rusak tersebut. Saat sampai, kami memilih berdiri di atas sebuah bangku yang terpasak pada dua pohon kelapa, tingginya sekitar setengah meter dari tanah. Di sinilah kami melihat air laut berangsur-angsur surut, kira-kira mencapai sepuluh meter.

Tak ada yang menghiraukan hal ini, malahan ada sebagian warga nekat menyusurinya. Dari jauh terlihat ikan-ikan yang melompat-melompat. Tanpa disadari seketika saja air yang tadi surut kembali menerjang pantai, menampakan keganasannya. Tingginya mencapai tiga meter, ini artinya tiga kali tinggi badan kami. Ketika itulah kepanikan terjadi, banyak orang mencoba untuk menghindar.

Aku dan yang lainnya mencoba untuk lari dengan sekuat tenaga. Gelombang ini kemudian pecah saat mencapai pantai. Air pasang tanpa halang ini kemudian benar-benar menyentuh daratan. Ia seakan mengejar setiap langkah kecil kami, berutung saat sudah di darat ketinggiannya turun, hanya sekitar setengah meter saja.

Terjangan gelombang tsunami yang legam ini sempat menyentuh tubuh mungil kami. Meski tidak sampai terseret, namun arusnya cukup kuat saat menerjang segala sesuatu yang dilaluinya. Dalam air bah yang mencapai daratan itu, kami terus berlari untuk menyelamatkan diri. Beruntung maut masih dikandung badan, tak ada seorang pun dari kami yang celaka dalam musibah ini.

Di Manggeng sendiri, kerusakan akibat terjangan gempa dan gelombang tsunami memang tidak terlalu parah. Ada sekitar seratusan rumah rusak, bangunan retak, roboh dan ada juga meninggal yang jumlahnya tak pasti. Air laut yang naik ke daratan sejauh 500 meter, datangannya pun berangsur beberapa kali. Namun gelombang paling besar terjadi dua kali. Gelombang inilah yang meluluhlantakkan pemukiman di pantai yang berhadapan langsung dengan Samudra Hindia.

Sepulang dari Pantai Suak Udueng, kami menyadari bahwa kejadian tadi adalah sebuah bencana besar. Kabar berita di televisi menayangkan apa yang sebenarnya terjadi. Kota-kota pesisir barat di Aceh telah hancur oleh malapetaka dahsyat ini. Kakak yang menonton terus saja menangis, ia tak sanggup melihat keganasan bencana yang sedang meradang di Bumo Aceh.

Gelombang tsunami memang tak sampai ke desaku, namun tragedi ini cukup membuat trauma mendalam bagi kami dan keluarga. Betapa tidak, ada banyak sanak saudara yang dulu menetap di Meulaboh, Teunom dan Banda Aceh hilang tanpa ada kabar. Bahkan sampai saat ini, diantara mereka ada yang tak pernah ditemukan dan tak pernah pulang lagi ke kampung halaman. Pusara mereka pun entah di mana.

Tanpa terasa tragedi tsunami telah lebih satu dekade. Kini bencana dahsyat itu telah berlalu, namun tragedi bencana itu masih membekas di ingatan mungkin untuk seumur hidup di dunia.

"Semoga mereka yang pergi diterima di sisi-Nya, amin ya rabbal ‘alamin."[]

Baca Juga: Mata Air Tangan-tangan

Popular posts from this blog

Terkenang Beutong Ateuh Banggalang

Mengintip Tiga Pantai Bakongan Timur

Keindahan Pantai Batee Puteh di Meukek

Gunong Trans, Kehijauan Sejauh Mata Memandang