Terkenang Beutong Ateuh Banggalang

Rawohnanggroe | Deru angin masih sendu mengaliri lembah basah setelah diterpa hujan. Ia tetap saja menitip dingin di jemari sedari tadi. Setelah mencapai puncak yang tegak di atas cabang awan, kami terus menyusuri turunan Singgah Mata. Sesekali sagop (kabut) masih menghalang pandangan.
Lembah Beutong Ateuh | Foto: TimRN

Sudah 30 menit turunan terlalui. Liku-liku tikungan tak lagi membawa resah bagi kami. Dalam laju roda yang terus berputar, dibalik perdu-perdu diketinggian sekitar 1000 Mdpl mulai terlihat sederetan perumahan di atas pegunungan. Asap-asap juga timbul dari pemukiman di bawah sana.

Sejurus kemudian, rumah-rumah penduduk yang berbaris mengikuti jalan dan sungai makin jelas terlihat. Awalnya kami tidak tahu sama sekali nama daerah ini. Pikirku perjalanan telah sampai ke negeri di atas awan, tapi ternyata bukan. Kawasan ini hanya dataran tinggi mini Beutong atau lebih tepatnya Beutong Ateuh Banggalang.

Akhirnya sampailah kami di tanah entah berantah. Daerah ini cukup asri, pengunungan tanpa celah mengitari seluruh penjuru tanahnya yang berlembah. Beutong Ateuh Banggalang adalah sebuah kecamatan di Nagan Raya yang seluruh wilayahnya dikurung oleh Kecamatan Beutong.

Dataran yang dikelilingi barisan pegunungan ini dibelah oleh sebuah sungai yang gagah. Inilah Krueng Beutong. Sejenak kami lepaskan keletihan di jembatan yang memotong derasnya sungai, sembari menghirup udara dan memotret untuk keperluan dokumentasi.

Suasana sangat tenang. Tak banyak aktifitas yang terlihat, hanya ada beberapa motor yang berlalu lalang di jalan. Hal seperti ini selalu bisa ditemui di perkampungan yang jauh dari kebisingan.


Dataran yang memiliki cerita tragis ini menawari hijaunya alam berpadu dengan rumah-rumah sederhana dengan penduduknya yang ramah. Beberapa orang yang lewat di jembatan selalu melempar senyum ke arah kami. Ini tentu sangat jarang ditemui di perkotaan di luar sana.

Kawasan yang terisolir menyebabkan aliran listrik dari Simpang Peut Jeuram tidak mampu menjangkau Beutong Ateuh. Untuk memenuhi kebutuhan listrik, kecamatan ini hanya memiliki sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) mandiri. Pemerintah sepertinya telah membangunnya di sini.

Tak lama berlalu, kami pun istirahat di warung yang berada tak jauh dari jembatan. Ada beberapa mobil L300 yang terparkir di depannya. Sepertinya warung makan ini menjadi tempat favorit untuk singgah bagi pengguna jalan Jeuram-Takengon.

Duduk di sekitar kerumunan warga yang tak sama sekali dikenal merupakan sebuah pengalaman baru. Mereka tetap saja bercengkrama dan bertutur kata dengan bahasa Aceh yang fasih. Wajah-wajah itu, nampaknya sangat menerima siapa saja yang datang.

Dataran tinggi mini ini umumnya merupakan lahan pertanian. Petak-petak sawah terlihat jelas lewat jendela warung tempat kami berada. Katanya segala sesuatu di Beutong Ateuh akan jauh lebih mahal. Wajar, mengingat karena susahnya distribusi barang ke sini. Akhirnya, kami memilih mie cup untuk mengisi perut yang sudah dari tadi keroncongan.


Ada cerita yang pernah saya dengar tentang Beutong Ateuh Banggalang. Dulu lembah ini pernah menjadi tempat persembunyian Teuku Umar dan Cut Nyak Dhine saat dikejar-kejar Belanda. Dua pahlawan nasional ini bergeriliya di hutannya yang gelap. Di sini, laskar pejuang Aceh menyusun strategi melawan kaphe penjajah.

Rimba ini adalah benteng pertahanan alami yang kokoh. Belanda sempat kewalahan menembus pedalaman Beutong. Tanah ini menjadi tempat terakhir dari perjuangan heroik wanita renta itu, dan akhirnya Belanda membawa pergi sang pahlawan.

Tidak sampai di situ, saat konflik melanda Aceh, daerah ini kembali berdarah. Sebuah pembantaian tragis pernah terjadi. Lebih dari 30 orang tewas dihamok timah panas yang membabi-buta. Mereka yang menjadi korban adalah masyarakat biasa yang tak tahu apa-apa, termasuk diantaranya adalah Tgk. Bantaqiah dan keluarganya.

Tgk Bantaqiah adalah seorang pemimpin spiritual terkemuka saat itu. Sayangnya Ia dituduh bersekongkol dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tuduhan itu tanpa dasar yang jelas. Pihak aparat keamanan hanya berdalih, mereka yang menjadi korban memiliki senjata api dan ganja, sehingga harus dihabisi tanpa sisa.

Pembantaian salah satu ulama kharismatik ini sempat menggemparkan seluruh wilayah Aceh. Ya, saya ingat kejadian 15 tahun lalu itu, ketika sebuah lagu menceritakan syair-syair duka tragedi Beutong Ateuh. Karena seringnya diputar, lagu yang dinyanyikan Nurhayati AZ dan Ari Rama ini cukup familiar di telinga anak Sekolah Dasar saat itu.

Berikut sepenggal lirik menyayat hati yang diciptakan A. Bakar AR dan A. Thayeb:

Musibah Aceh oh lheuh Cot Murong
Kalom di Beutong syahid ulama
Sigo ngon murid syahid meususon
Jikubu langsong seucara massa
Sunggoh sayang, keuhendak Tuhan Aceh lam bala...

Rakyat lam desa geumo geuranggong
Geulakee tulong bak ureung lingka
Seusak lam dada, saket lam jantong
Matee dum kawom darah meukeuba
Adak dikamoe meuklik meuranggong
Hana soe tulong abeh ie mata
Pakon keuh meuno ureung mat hukom
Ureung lam duson hana meudaya...


Lagu tersebut sangat jelas menggambarkan betapa kepedihan pernah menyelimuti Beutong Ateuh.

Sembari meneguk segelas air, mata tertuju pada senyum dan raut wajah penduduk yang berada di warung. Meski kejadian itu sudah lama berlalu, saya yakin, disetiap benak warga Beutong Ateuh pembantaian ini masih membekas dan menjadi kenangan pahit yang tak mau terulang lagi.

Lelah akhirnya lepas di badan. Jalanan yang masih panjang selalu siap menunggu di depan. Bahan bakar yang telah banyak terkuras kembali kami isi, ditambah satu liter di dalam botol air mineral untuk jaga-jaga.
Perjalanan ke depan masih terus menanjak.
Lintasan sebelum Beutong Ateuh | Sumber: Youtube

Tak jauh dari Keude Beutong Ateuh, lewat dari kantor camat terdapat sebuah lokalisasi transmigrasi. Posisinya tepat berada di atas pegunungan. Dari atas sini angin berhembus menuju lembah. Di balik dedaunan dan pucuk pepohonan terlihat lagi pemukiman yang mengikuti alur sungai itu. 

Kami meninggalkan Beutong Ateuh Banggalang. Sebenarnya ada rasa penasaran yang memuncak pada bekas pembantaian yang pernah terjadi. Ingin sekali rasanya berkunjung ke monumen atau kuburan massal tragis itu. Tetapi Sang pengatur waktu tak mengizinkan langkah kami ke sana.

Matahari sudah condong ke barat, ini sebuah isyarat untuk segera pergi dari persinggahan. Selama di jalan meningglakan tanah dalam rangkul Bukit Barisan, kami kembali memandangi lembah yang tetap senyap membisu. Kami tinggalkan lembah yang tak bersaksi. Janji kami, tak lama lagi pasti kembali.[]


Sebelumnya: Puncak Singgah Mata

Popular posts from this blog

Gunong Trans, Kehijauan Sejauh Mata Memandang

Mengintip Tiga Pantai Bakongan Timur

Keindahan Pantai Batee Puteh di Meukek

Di Aceh, Menikah dan Khitanan "Harus" Berinai